ILMU PENGETAHUAN BAGAI CAHAYA DALAM GELAP

Minggu, 26 September 2010

Peranan Asam Amino Taurin pada Air Susu Ibu

Air susu ibu (ASI) merupakan sumber nutrisi yang utama dan aman bagi bayi. Selain berperan penting terhadap pertumbuhan dan perkembangan bayi, ASI juga terbukti memiliki efek proteksi bayi dari berbagai infeksi dan gangguan pencernaan, serta meningkatkan imunitas bayi. Pemberian ASI merupakan satu-satunya cara terbaik untuk meningkatkan hubungan psikologis antara ibu dan bayi. Dengan demikian, ASI memberikan manfaat dalam hal psikososial bayi disamping untuk pertumbuhan, perkembangan, dan proteksi.
Berkenaan dengan pertumbuhan dan perkembangan bayi, berbagai kandungan nutrisi yang terdapat di dalam ASI sangat berperan. Secara biokimia, nutrisi yang terkandung di dalam ASI dibedakan menjadi dua, yaitu makronutrien dan mikronutrien. Makronutrien ASI antara lain berupa karbohidrat, lemak, dan protein. Mikronutrien ASI diperankan oleh sejumlah mineral dan vitamin. Secara keseluruhan, semua komponen ASI tersebut memiliki efek yang sangat besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak selanjutnya. Salah satu komponen penting yang terdapat di dalam ASI adalah taurin.
Taurin merupakan salah satu salah satu asam amino bebas yang dihasilkan sebagai produk akhir dari metabolisme asam amino sulfur. Kandungan taurin pada air susu berbeda untuk tiap organisme. Pada manusia, kandungan taurin yang terdapat pada ASI lebih tinggi dibanding dengan sejumlah mamalia lain, seperti sapi dan kuda. Hal ini menyebabkan sebagian besar susu formula yang diperoleh dari sapi memiliki kandungan taurin yang sangat rendah bahkan tidak ada. Hal ini penting untuk diketahui mengingat taurin memiliki sejumlah efek yang sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi.
Berbagai potensi taurin yang terkait erat dengan tumbuh-kembang bayi, antara lain berkenaan dengan pematangan sel saraf otak dan retina. Pada bayi, konsentrasi tertinggi taurin terdapat pada kedua macam sel tersebut. Selain pada sel saraf otak dan retina, taurin juga terdapat pada serebelum dan sel saraf tepi. Secara biomolekuler, taurin juga memiliki daya antioksidan yang berperan dalam memproteksi sel, terutama sel saraf, dari stres oksidatif. Taurin juga turut berperan pada perkembangan reproduksi neonatus. Jadi, taurin merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan bayi, terutama yang berkenaan dengan pertumbuhan, perkembangan, serta proteksi sel saraf.
[download pdf lengkap] [Baca pendahuluannya di sini...]

Retensi IUD

Penurunan angka fertilitas total menunjukan suatu fakta bahwa pelaksanaan program KB di Indonesia telah mampu dan berhasil mengatasi laju pertumbuhan penduduk sebagai suatu masalah kependudukan di Indonesia. Angka fertilitas total (Total Fertilitas Rate=TFR) untuk Indonesia pada periode 1967-1970 sebesar 5,6 turun meniadi 3,33 pada periode 1985-1990 (BPS,1992) dan bahkan pada periode 1990—1995 turun meniadi 3,10 (Agung dan Harahap, 1992). Ananta, Lim dan Arifin (1990) telah memperlihatkan bahwa transisi fertilitas Indonesia telah memasuki tahap akhir, yaitu bahwa variabel penentu fertilitas akan makin di dominasi oleh variabel kontrasepsi dan makin kurang oleh variabel fertilitas alamiah (natural fertility) ataupun perkawinan.
Salah satu teknik kontrasepsi yang berkembang saat ini adalah IUD (intrauterine Device) atau alat kontrasepsi dalam rahim. IUD adalah alat kecil terdiri dari bahan plastik yang lentur yang dimasukkan ke dalam rongga rahim, yang harus diganti jika sudah digunakan selama periode tertentu. IUD merupakan cara kontrasepsi jangka panjang. Nama popularnya di masyarakat adalah spiral.
Keluhan yang dijumpai pada penggunaan IUD adalah terjadinya perdarahan (biasanya sedikit), bisa juga disertai dengan rasa mules yang biasanya hanya berlangsung tiga hari. Tetapi, jika perdarahan berlangsung terus-menerus dalam jumlah banyak, pemakaian IUD harus dihentikan. IUD juga dapat mempengaruhi keadaan haid, misalnya, pada permulaan haid darah yang keluar jumlahnya lebih sedikit daripada biasa, kemudian secara mendadak jumlahnya menjadi banyak selama 1-2 hari. Selanjutnya kembali sedikit selama beberapa hari. Kemungkinan lain yang terjadi adalah kejang rahim (uterine cramp), serta rasa tidak enak pada perut bagian bawah. Meski demikian, sebagian besar akseptor tidak mengeluhkan gejala apa-apa, yang menyebabkan beberapa individu tidak melakukan control terhadap IUD, dan IUD berada dalam uterus dalam waktu yang lama.
IUD yang tertinggal di dalam rahim dalam waktu lama akan menyebabkan kesulian dalam pencabutan, sehingga IUD tetap tertinggal di dalam rahim. Keadaan ini disebut retensi IUD. IUD yang tertinggal terlalu lama di dalam rahim dan fungsinya tidak lagi diperlukan, atau keberadaannya mengganggu, maka perlu dilakukan pencabutan.

[download pdf lengkap] [Baca pendahuluannya di sini...]

Jumat, 20 Agustus 2010

Polip Serviks

Serviks merupakan bagian uterus yang berada di bagian bawah, berupa saluran yang menghubungkan uterus dengan vagina. Pada daerah ini sering didapatkan pola pertumbuhan jaringan abnormal, baik jinak maupun ganas. Salah satu kasus yang dapat ditemukan adalah bentuk polip serviks. Polip serviks merupakan pertumbuhan massa polip atau tumor bertangkai, yang berasal dari permukaan kanal serviks. Polip serviks tumbuh dari kanal serviks dengan pertumbuhan ke arah vagina. Terdapat berbagai ukuran dan biasanya berbentuk gelembung-gelembung dengan tangkai yang kecil. Secara histopatologi, polip serviks sebagian besar bersifat jinak (bukan merupakan keganasan) dan dapat terjadi pada seseorang atau kelompok polulasi.

Polip serviks dapat tumbuh dari lapisan permukaan luar serviks dan disebut sebagai polip ektoserviks. Polip ektoserviks sering diderita oleh wanita yang telah memasuki periode paska-menopause, meskipun dapat pula diderita oleh wanita usia produktif. Prevalensi kasus polip serviks berkisar antara 2 hingga 5% wanita.2 Pada wanita premenopause (di atas usia 20 tahun) dan telah memiliki setidaknya satu anak, pertumbuhan polip sering berasal dari bagian dalam serviks, atau disebut polip endoserviks. Meskipun pembagian polip serviks menjadi polip ektoserviks dan endoserviks cukup praktis untuk menentukan lokasi lesi berdasarkan usia, namun hal itu bukan merupakan ukuran absolut untuk menetapkan letak polip secara pasti. Sejumlah prosedur lain tetap harus dilakukan sebelum tindakan bedah dan pengobatan dilakukan.
Polip serviks memiliki ukuran kecil, yaitu antara 1 hingga 2 cm. Namun, ukuran polip dapat melebihi ukuran rata-rata dan disebut polip serviks raksasa bila melebihi diameter 4 cm. Polips serviks berukuran besar jarang ditemukan di polulasi dan gambaran mengenai penyakit ini sedikit sekali dibahas dalam literatur-literatur ginekologi. Dalam laporan kasus international yang termuat di MEDLINE, hanya terdapat 8 kasus yang dilaporkan sepanjang periode 1966 – 2002, menggambarkan kecilnya angka kejadian tersebut di dunia.
[download pdf lengkap] [Baca pendahuluannya di sini...]

Peranan Obat Golongan Statin Terhadap Penyakit Jantung Koroner

Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan kelompok penyakit jantung yang terutama disebabkan penyempitan arteri koronaria akibat proses aterosklerosis atau spasme koroner, atau kombinasi dari keduanya. Secara statistik, angka kejadian penyakit jantung koroner di dunia terus meningkat dari tahun ke tahun, baik di negara berkembang maupun negara maju. Di Amerika misalnya, sekitar 500.000 orang meninggal akibat penyakit ini tiap tahunnya. Di Eropa, 40.000 dari 1 juta orang juga menderita penyakit jantung koroner. Bahkan, di Indonesia, penyebab kematian mulai bergeser dari penyakit infeksi ke penyakit kardiovaskular. Secara keseluruhan, jumlah kematian akibat PJK di seluruh dunia adalah sekitar 15 juta per tahun atau 30% dari seluruh kematian dengan berbagai sebab.

Manifestasi klinik PJK yang klasik adalah angina pektoris. Angina pektoris ialah suatu sindroma klinis di mana didapatkan sakit dada yang timbul pada waktu melakukan aktivitas karena adanya iskemik miokard. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi > 70% penyempitan arteri koronaria. Angina pektoris dapat muncul sebagai angina pektoris stabil (APS, stable angina), dan keadaan ini bisa berkembang menjadi lebih berat dan menimbulkan sindroma koroner akut (SKA) atau yang dikenal sebagai serangan jantung mendadak (heart attack) dan bisa menyebabkan kematian.
Mengingat tingginya angka kematian akibat PJK, maka pengambilan keputusan klinis sebagai dasar pengobatan PJK memerlukan evidence based medicine yang tinggi. Salah satu penanganan PJK disamping modifikasi gaya hidup adalah pengobatan konvensional menggunakan obat golongan statin. Studi yang dilakukan MIRACL (Myocardial Ischemia Reduction with Aggressive Cholesterol Lowering) membuktikan pemberian statin mampu menurunkan angka morbiditas dan mortalitas PJK secara bermakna. Sebelumnya, American Heart Association (AHA) juga mengeluarkan rekomendasi untuk memulai penggunaan terapi penurunan kolesterol, salah satunya adalah statin, saat pasien dipulangkan dari rumah sakit.
Statin merupakan obat antihiperlipidemia atau antikolesterol yang menghambat kerja enzim HMG-KoA reduktase yang berperan dalam proses sintesis kolesterol. Berbagai uji klinik terhadap kejadian kardiak menunjukkan bahwa statin tidak hanya berperan menurunkan kolesterol, tetapi juga memiliki efek non-lipid langsung dan tak langsung, seperti memperbaiki fungsi endotel, mengurangi respons inflamasi, meningkatkan stabilitas plak, dan mengurangi kecenderungan pembentukan trombus. Mengingat pentingnya manfaat statin terhadap penyakit jantung koroner, maka pada makalah ini akan dipaparkan semua hal yang berkenaan dengan penyakit jantung koroner dan statin sebagai salah satu obat untuk menanggulanginya.
[download pdf lengkap] [Baca pendahuluannya di sini...]

Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan Asianotik Pada Anak

Di antara berbagai kelainan bawaan (congenital anomaly) yang ada, penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan kelainan yang paling sering ditemukan. Di Amerika Serikat, prevalensi penyakit jantung bawaan sekitar 8-10 dari 1000 kelahiran hidup, dengan sepertiga di antaranya bermanifestasi dalam kondisi kritis pada tahun pertama kehidupan dan 50% dari kegawatan pada bulan pertama kehidupan berakhir dengan kematian. Di Indonesia, dengan populasi 200 juta penduduk dan angka kelahiran hidup 2%, diperkirakan terdapat sekitar 30.000 penderita PJB.

Penyakit jantung bawaan adalah penyakit jantung yang dibawa sejak lahir, di mana kelainan pada struktur jantung atau fungsi sirkulasi jantung terjadi akibat gangguan atau kegagalan perkembangan struktur jantung pada fase awal perkembangan janin. Penyebab PJB sendiri sebagian besar tidak diketahui, namun beberapa kelainan genetik seperti sindroma Down dan infeksi Rubella (campak Jerman) pada trimester pertama kehamilan ibu berhubungan dengan kejadian PJB tertentu.
Secara umum terdapat 2 kelompok besar PJB yaitu PJB sianotik dan PJB asianotik. PJB sianotik biasanya memiliki kelainan struktur jantung yang lebih kompleks dan hanya dapat ditangani dengan tindakan bedah. Sementara PJB asianotik umumnya memiliki lesi (kelainan) yang sederhana dan tunggal, namun tetap saja lebih dari 90% di antaranya memerlukan tindakan bedah jantung terbuka untuk pengobatannya. Sepuluh persen lainnya adalah kelainan seperti kebocoran sekat bilik jantung yang masih mungkin untuk menutup sendiri seiring dengan pertambahan usia anak.
Penyakit jantung bawaan asianotik meliputi 75% dari seluruh prevalensi kelainan jantung bawaan. Secara garis besar dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu PJB asianotik dengan pirai kiri ke kanan, dan tanpa pirai (obstruktif). Kelompok dengan pirai meliputi defek septum ventrikel (VSD), defek septum atrium (ASD), duktus arteriosus persisten (PDA), dan endocardial cushion defect (ECD). Kelompok tanpa pirai meliputi stenosis pulmonar, stenosis aorta, dan koarktasio aorta. Masing-masing kelainan memiliki ciri tersendiri, termasuk dalam teknik diagnosis dan tatalaksana.
Mengingat pentingnya penegakan diagnosis dan tatalaksana yang cepat dan tepat pada PJB asianotik, maka perlu adanya pemahaman yang lebih baik mengenai kelainan ini, karena sebagian gejala yang terdapat pada kelainan ini tidak khas dan deteksi dininya cukup sulit.
[download pdf lengkap] [Baca pendahuluannya di sini...]

Senin, 12 Juli 2010

UPAYA MENURUNKAN ANGKA KEMATIAN IBU

Angka kematian ibu merupakan angka yang didapat dari jumlah kematian ibu untuk setiap 100.000 kelahiran hidup, sehingga berkaitan langsung dengan kematian ibu. Kematian ibu adalah kematian wanita dalam kehamilan atau sampai dengan 42 hari pasca-terminasi kehamilan, yang disebabkan kehamilan, manajemen tatalaksana, maupun sebab lain. Penyebab kematian tersebut dapat berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan kehamilan, dan umumnya terdapat sebab utama yang mendasari. Dalam upaya memudahkan identifikasi kematian ibu, WHO telah menetapkan sejumlah sistem klasifikasi kematian ibu. Dengan adanya sistem ini, diharapkan akan meningkatkan kewaspadaan, perencanaan tindakan, dan pada akhirnya akan menurunkan angka kematian ibu.

Di berbagai negara di dunia, upaya menurunkan angka kematian ibu telah menunjukkan banyak keberhasilan. Negara-negara tersebut berhasil menekan angka kematian ibu sedemikian rupa, karena adany kebijakan yang dilakukan secara intensif, misalnya menambah subsidi masyarakat untuk pencegahan penyakit, perbaikan kesejahteraan, dan pemeriksaan kesehatan ibu. Beberapa masalah khusus, seperti tromboemboli, perdarahan, preeklampsia dan eklampsia, dan sebab-sebab mayor lainnya mendapat prioritas utama, karena persentase kematian ibu akibat masalah-masalah tersebut begitu tinggi. Sistem administrasi klinis juga perlu dibina, yang meliputi akreditasi pelayanan, manajemen risiko, peningkatan profesionalitas, dan pengaduan pasien.
Dengan mengenali berbagai masalah utama terkait angka kematian ibu dan upaya-upaya potensial yang efektif dalam menurunkannya, maka secara keseluruhan tidak hanya mengurangi jumlah kematian, tetapi juga menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu dan bayi. Meskipun intervensi kesehatan yang dilakukan hanya meliputi aspek yang terbatas, seperti pengadaan tenaga terampil dalam pertolongan persalinan, tatalaksana gawat darurat obstetri yang memadai, dan keluarga berencana. Namun, keberhasilan dalam upaya perbaikan kesehatan maternal ini secara tidak langsung akan meningkatkan derajat kesehatan bangsa.
[download pdf lengkap] [Baca pendahuluannya di sini...]

Berbagai Komplikasi Sinusitis dan Penatalaksanaannya

Sebagian besar infeksi virus penyebab pilek seperti common cold dapat menyebabkan suatu sumbatan pada hidung, yang akan hilang dalam beberapa hari. Namun jika terjadi peradangan pada sinusnya, dapat muncul gejala lainnya seperti nyeri kepala dan nyeri tekan pada wajah. Sinusitis adalah infeksi atau peradangan dari mukosa sinus paranasal. Sinusitis mungkin hanya terjadi pada beberapa hari (sinusitis akut) atau berlanjut menjadi sinusitis kronis jika tanpa pengobatan yang adekuat.

Angka kejadian sinusitis akut mendekati 3 dalam 1000 orang, sedangkan sinusitis kronis lebih jarang kira-kira 1 dalam 1000 orang. Bayi di bawah 1 tahun tidak menderita sinusitis karena pembentukan sinusnya belum sempurna, tetapi sinusitis dapat terjadi pada berbagai usia dengan cara lain.
Infeksi sinus seperti yang kita ketahui kini lebih jarang dibandingkan era pra-antibiotik. Pasien sering kali masih mengaitkan gejala-gejala seperti nyeri kepala, sumbatan hidung, drenase post-nasal, kelemahan, halitosis dan dispepsia dengan disfungsi sinus. Namun demikian, penyakit sinus menimbulkan kumpulan gejala yang agak karakteristik yang hanya bervariasi sesuai beratnya penyakit dan lokasinya.
Prinsip utama dalam menangani infeksi sinus adalah dengan drainase sinus, pemberian antibiotik, dan mencegah komplikasi. Sinusitis yang tidak ditangani dan diabaikan dapat menyebabkan berbagai komplikasi, terutama pada organ-organ vital di sekitarnya. Bahaya komplikasi ini bergantung seberapa besar derajat kerusakan jaringan. Komplikasi tersering adalah perluasan penyakit hingga ke orbita, susunan saraf pusat, dan meluas secara sistemik.
[download pdf lengkap] [Baca pendahuluannya di sini...]

Prediksi Pencegahan Osteoporosis Terkait Pajanan Sinar Matahari

Menurut WHO (1994), osteoporosis adalah suatu penyakit dengan sifat-sifat khusus seperti massa tulang rendah yang disertai dengan perubahan mikroarsitektur tulang dan penurunan kualitas jaringan tulang yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya fraktur tulang karena meningkatnya kerapuhan tulang. Bronner (1994), menyatakan bahwa penyakit ini menyerang tulang nyaris tanpa gejala dan baru disadari setelah terjadi perubahan bentuk tulang atau kejadian patah tulang yang merupakan kondisi osteoporosis lanjut. Bonjour (2001) menyatakan bahwa kehilangan tulang pada penyakit osteoporosis terjadi secara perlahan dan kehilangan tulang ini terjadi dengan cepat. Seringkali penyakit ini tanpa gejala sampai terjadinya patah tulang, sehingga penyakit ini sering disebut sebagai penyakit tanpa gejala (silent disease).

Osteoporosis adalah sesuatu yang kompleks, kondisi yang dipengaruhi banyak faktor dengan karakterisasi pengurangan massa tulang dan kerusakan struktur mikroarsitektural, yang menyebabkan peningkatan kerusakan tulang. Walaupun pada umumnya kekuatan tulang (termasuk massa dan kualitas tulang) ditentukan oleh genetis, banyak faktor-faktor lainnya (gizi, lingkungan dan gaya hidup) juga mempengaruhi tulang. Gizi adalah faktor penting dalam pembentukan dan pemeliharaan massa tulang dan mencegah terjadinya osteoporosis. Sekitar 80-90% kandungan mineral tulang terdiri dari kalsium dan fosfor. Komponen lainnya seperti protein, magnesium, seng, tembaga, besi, fluor, vitamin D, A, C dan K juga dibutuhkan dalan metabolisme tulang secara normal. Sementara itu, faktor-faktor pengganggu yang dapat mempengaruhi kesehatan tulang adalah kafein, alkohol dan fitoestrogen. Selanjutnya dengan mengetahui interaksi antara faktor-faktor yang berbeda seperti zat gizi, lingkungan, gaya hidup dan keturunan (genetis) akan dapat lebih membantu untuk mengerti akan kompleksitas terjadinya osteoporosis.

Vitamin D merupakan salah satu faktor penting pada kejadian osteoporosis Orang dewasa yang kekurangan vitamin D dapat menderita osteoporosis, yaitu suatu penyakit di mana terjadi penurunan massa dan jaringan tulang sehingga meningkatkan risiko terjadinya fraktur. Individu dengan kulit yang gelap dianjurkan untuk mengkonsumsi suplemen vitamin D karena mereka kesulitan untuk memproduksi vitamin D dari sinar matahari secara alami. Pada orang-orang yang mengalami musim dingin yang panjang (misalnya di daerah Kanada), terjadi risiko kekurangan vitamin D karena kurangnya sinar matahari pada musim-musim tersebut untuk membantu produksi vitamin D secara alami, khususnya bagi yang berusia lebih dari 50 tahun.
[download pdf lengkap] [Baca pendahuluannya di sini...]

Perdarahan Antepartum Akibat Plasenta Previa

Angka kematian maternal masih menjadi tolok ukur untuk menilai baik buruknya keadaan pelayanan kebidanan dan salah satu indikator tingkat kesejahteraan ibu. Angka kematian maternal di Indonesia tertinggi di Asia Tenggara. Menurut SKRT tahun 1992, yaitu 421 per 100.000 kelahiran hidup, SKRT tahun 1995, yaitu 373 per 100.000 kelahiran hidup dan menurut SKRT tahun 1998 tercatat kematian maternal yaitu 295 per 100.000 kelahiran hidup. Diharapkan PJP II (2019) menjadi 60 - 80 per 100.000 kelahiran hidup.

Penyebab terpenting kematian maternal di Indonesia adalah perdarahan 40-60%, diikuti dengan infeksi 20-30% dan keracunan kehamilan 20-30%. Sisanya sekitar 5% disebabkan penyakit lain yang memburuk saat kehamilan atau persalinan. Perdarahan sebagai penyebab kematian ibu terdiri atas perdarahan antepartum dan perdarahan postpartum. Perdarahan antepartum merupakan kasus gawat darurat yang kejadiannya berkisar 3% dari semua persalinan.
Perdarahan antepartum adalah perdarahan yang terjadi setelah kehamilan 22 minggu. Biasanya lebih banyak dan lebih berbahaya daripada perdarahan kehamilan sebelum 22 minggu, Sehingga memerlukan penanganan yang berbeda. Diagnosis secara tepat sangat membantu menyelamatkan nyawa ibu dan janin. Penyebabnya antara lain plasenta previa, solusio plasenta, dan perdarahan yang belum jelas sumbernya.
Plasenta previa merupakan salah satu penyebab tersering perdarahan antepartum. Perdarahan yang terjadi merupakan komplikasi akibat letak implantasi plasenta yang berada di segmen bawah rahim dan menutupi sebagian atau seluruh ostium uteri internum. Dengan penatalaksanaan yang baik, kematian maternal dapat di cegah dan derajat mortalitas perinatal dapat ditekan hingga kurang dari 50 per 1000 kelahiran hidup.
[download pdf lengkap] [Baca pendahuluannya di sini...]

Penyakit Menular Seksual Dalam Kehamilan

Penyakit menular seksual, atau PMS adalah berbagai infeksi yang dapat menular dari satu orang ke orang yang lain melalui kontak seksual. Menurut the Centers for Disease Control (CDC) terdapat lebih dari 15 juta kasus PMS dilaporkan per tahun. Kelompok remaja dan dewasa muda (15-24 tahun) adalah kelompok umur yang memiliki risiko paling tinggi untuk tertular PMS, 3 juta kasus baru tiap tahun adalah dari kelompok ini.

Beberapa PMS dapat berlanjut pada berbagai kondisi seperti Penyakit Radang Panggul (PRP), kanker serviks dan berbagai komplikasi kehamilan. Para peneliti mendapati bahwa infeksi kelamin terkait dengan risiko keguguran pada trimester pertama dan kedua. Selain itu, infeksi kelamin yang menyebar secara hematogen dan masuk ke sirkulasi janin akan menimbulkan kecacatan, terhambatnya pertumbuhan, hingga janin mati dalam kandungan. Untuk itu, wanita hamil disarankan untuk melakukan skrining dan penanganan sedini mungkin sejak awal kehamilan sehingga mengurangi risiko kehamilannya.
Terdapat banyak penyakit menular seksual atau penyakit kelamin yang dikenal, namun yang tersering adalah gonore, sifilis, HIV/AIDS, kondiloma akuminata, bacterial vaginosis, infeksi genital nonspesifik, hepatitis B, herpes genitalis, CMV, kandidiasis vulvovaginalis, dan trikomoniasis. Perhatian lainnya ditujukan kepada pengobatan penyakit, dimana pemilihan obat yang aman bagi ibu dan janin harus diperhatikan, namun efektivitasnya terhadap penyakit cukup baik.
[download pdf lengkap] [Baca pendahuluannya di sini...]

Selasa, 08 Juni 2010

Malnutrisi Energi Protein Berat Pada Anak Dengan Spondilitis Tuberkulosis

Malnutrisi adalah istilah umum ketika terjadi kekurangan beberapa atau seluruh elemen nutrisi yang penting bagi tubuh. Malnutrisi merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak di dunia. Diperkirakan 9% anak di bawah usia 5 tahun mengalami kelaparan (dengan standar deviasi berat badan menurut tinggi badan di bawah -2 SD menurut WHO/NCHS). Keadaan ini berisiko terhadap kematian atau gangguan pertumbuhan dan perkembangan mental yang berat.1
Kwashiorkor dan marasmus merupakan dua bentuk dari malnutrisi energi protein. Perbedaan mendasar antara kedua bentuk malnutrisi ini adalah ada (kwashiorkor) atau tidak (marasmus) adanya edema. Marasmus terjadi akibat intake protein dan kalori yang tidak adekuat, sedangkan kwashiorkor terjadi akibat intake protein yang tidak adekuat tetapi intake kalori masih dalam batas normal. Pada dasarnya, malnutrisi berat terjadi akibat asupan makanan yang menurun, dengan atau tanpa disertai gangguan metabolisme makanan spesifik.2
Malnutrisi berat, baik tipe kwashiorkor maupun marasmus, seringkali disertai penyakit yang menjadi dasar gangguan intake nutrisi. Kelainan tersebut, antara lain infeksi kronis, keganasan, gangguan imun, dan sebagainya.2 Malnutrisi merupakan masalah serius di dunia. Sekitar 49% dari 10,4 juta kematian balita di negara berkembang berkaitan dengan kondisi malnutrisi energi protein.3 Pada anak, infeksi kronis yang disebabkan oleh kuman tuberkulosis merupakan salah satu kejadian yang sering terjadi di negara-negara berkembang. Beratnya penyakit dan penyebarannya ke esktrapulmonal secara langsung akan mempengaruhi keadaan metabolisme, status imun, dan perubahan anatomi. Keadaan lain berupa kelumpuhan, status keuangan orang tua selama pengobatan, dan kepedulian orang tua terhadap anak, secara tidak langsung akan memperparah status gizi anak dengan tuberkulosis.2,4
[download pdf lengkap] [Baca pendahuluannya di sini...]

Peranan Laktoferin pada Air Susu Ibu

Air susu ibu (ASI) merupakan sumber nutrisi utama dan aman bagi bayi. ASI terbukti berperan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan bayi, baik secara fisik maupun psiko-sosial. Selain itu, ASI juga memiliki efek proteksi terhadap infeksi serta meningkatkan imunitas bayi. Hal ini terkait dengan berbagai kandungan nutrisi pada ASI.1,2

Nutrisi yang terkandung di dalam ASI dapat dibedakan menjadi dua, yaitu makronutrien dan mikronutrien. Makronutrien ASI antara lain berupa karbohidrat, lemak, dan protein. Mikronutrien ASI diperankan oleh sejumlah mineral dan vitamin. Secara keseluruhan, semua komponen ASI tersebut memiliki efek yang sangat besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak selanjutnya. Salah satu komponen penting yang terdapat di dalam ASI adalah laktoferin.3,4
Laktoferin merupakan salah satu glikoprotein yang terutama disekresikan bersama ASI. Laktoferin merupakan komponen penting pada ASI terkait kemampuan antimikrobial,5 antiinflamasi,6 dan antioksidan yang dimilikinya.7 Berbagai potensi laktoferin tersebut tidak terlepas dari kemampuannya dalam mengikat besi di dalam tubuh.8
Pada bayi, berbagai potensi laktoferin tersebut akan membantu meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit. Asupan laktoferin yang cukup dapat dipenuhi dengan pemberian ASI yang adekuat kepada bayi. Mengingat pentingnya peran laktoferin terhadap bayi, maka di dalam makalah ini akan dipaparkan secara rinci mengenai peranan laktoferin, mencakup efek antiinflamasi, antibakteri, dan antioksidan laktoferin, serta tinjauan laktoferin menurut aspek nutrigenomik.5
[download pdf lengkap] [Baca pendahuluannya di sini...]

GANGGUAN SPEKTRUM KEPRIBADIAN SKIZOFRENIK

(Terjemahan: Hirsch SR, Weinberger DR. Schizophrenia. Blackwell Science, Cabridge Univ. Press)


Skizofrenia sudah dikembangkan dalam cakupan genetik dan biologis menjadi etiologi, patofisiologi, dan penatalaksanaannya. Psikiatri Eropa seperti Bleuler dan Kahn merupakan orang pertama yang meneliti perbedaan yang terdapat pada gangguan skizofrenia, dan relatif pada penderita skizofrenia menunjukkan gejala seperti psikosis yang lebih ringan dengan karakteristik sama yang diteliti pada penderita skizofrenia kronik

Gangguan skizofrenia yang lebih ringan ini dinamakan sebagai 'skizoid' oleh Bleuler dan untuk mengetahui hubungan antara gejala dan skizofrenia walaupun individu tersebut memiliki sedikit gejala psikosis. Saat skizoid telah diterapkan secara luas kepada individu yang diindikasikan untuk diisolasi atau memiliki kehidupan fantasi yang aktif, gambarannya akan konsisten dengan variasi dari kelainan yang terjadi termasuk gangguan afektif, bentuk lain seperti borderline skizofrenia atau skizotipe (Rado, 1962) menggantikan skizoid dan telah dikembangkan untuk mengidentifikasi lebih mendalam suatu kelainan secara genetik dan klinis yang berhubungan dengan skizofrenia.
Konsep diagnosis ini telah diperbarui ketika diagnosis gangguan personalitas skizotipe, yang merupakan diagnosis baru pada nomenklatur psikiatri dan diperkenalkan dalam Diagnostic and Statistical Manual DSM-III (APA, 1980). Kriteria gangguan personalitas skizotipe didasari atas gejala klinis dari penderita dalam sebuah penelitian Kety, Rosenthal, dan Wender (Kety et al., 1975) dengan diagnosis 'borderline skizofrenia' atau 'skizofrenia laten'. Gangguan personalitas skizotipal lebih mudah untuk diinvestigasi. Pada konteks ini beberapa percobaan dilakukan terhadap fenomenologi, genetik, biologi, hasil dan respon pengobatan yang mana gangguan personalitas skizotipal berhubungan dengan skizofrenia kronik pada suatu tempat. Saat ini banyak penelitian yang mengagumkan telah dilakukan sehingga memungkinkan untuk diketahuinya multifaktor yang berperan seperti genetik, dan biologis yang menjadi poses dasar skizofrenia. Pada BAB ini akan ditampilkan hasil dari bebagai percobaan tersebut sebagai upaya mengetahui spektrum skizofrenia.
[download pdf lengkap] [Baca pendahuluannya di sini...]

Tonsilitis Kronis Hipertrofi dan Obstructive Sleep Apnea (OSA) Pada Anak

Tonsilitis Kronis merupakan keradangan kronik pada tonsil yang biasanya merupakan kelanjutan dari infeksi akut berulang atau infeksi subklinis dari tonsil. Kelainan ini merupakan kelainan tersering pada anak di bidang THT. Untuk seluruh kasus, prevalensinya tertinggi setelah nasofaring akut, yaitu 3,8% dengan insidensi sekitar 6,75% dari jumlah seluruh kunjungan. Pada tonsilitis kronis, ukuran tonsil dapat membesar sedemikian sehingga disebut tonsilitis kronis hipertrofi.
Tonsilitis kronis dengan hipertrofi tonsil dapat menyebabkan berbagai gangguan tidur, seperti mendengkur sampai dengan terjadinya apnea obstruktif sewaktu tidur (Obstructive Sleep apnea). Obstructive sleep apnea atau OSA merupakan kondisi medik yang serius, ditandai dengan episode obstruksi saluran napas atas selama tidur sehingga menyebabkan berkurangnya asupan oksigen secara periodik. Beberapa ahli memperkirakan kelainan ini secara epidemiologi merupakan kelainan yang umum di masyarakat, namun sering tidak terdiagnosis. Mengingat dampak yang ditimbulkan, maka tonsilitis kronis hipertrofi yang disertai dengan sleep apnea harus segera ditindak-lanjuti dengan pendekatan operatif.2-4
Secara umum, penatalaksanaan tonsilitis kronis dibagi dua, yaitu konservatif dan operatif. Terapi konservatif dilakukan untuk mengeliminasi kausa, yaitu infeksi, dan mengatasi keluhan yang mengganggu. Bila tonsil membesar dan menyebabkan sumbatan jalan napas, disfagia berat, gangguan tidur, terbentuk abses, atau tidak berhasil dengan pengobatan konvensional, maka operasi tonsilektomi perlu dilakukan.5,6
Pada kasus yang tidak tertangani dengan baik, tonsilitis kronis hipertrofi secara keseluruhan akan mempengaruhi kualitas hidup anak, baik fisik maupun psikis. Kualitas anak dalam prestasi belajar akan terganggu. Hal ini diperkuat oleh penelitian Farokah dkk (2007) yang membuktikan adanya perbedaan yang bermakna antara prestasi belajar siswa yang menderita tonsilitis kronis dan yang tidak. Dampak lainnya adalah meningkatnya permasalahan psikologi yang mencakup gangguan emosional, gangguan perilaku, dan neurokognitif.2
Mengingat angka kejadian yang tinggi dan dampak yang ditimbulkan dapat mempengaruhi kualitas hidup anak, maka pengetahuan yang memadai mengenai tonsilitis kronis diperlukan guna penegakan diagnosis dan terapi yang tepat dan rasional.
[download pdf lengkap] [Baca pendahuluannya di sini...]

Kamis, 29 April 2010

Malunion Suprakondiler Femur

Secara teoritis, setiap tulang yang tidak pulih dalam posisi anatomi yang tepat akan mengalami malunion. Istilah malunion digunakan untuk kondisi fraktur dengan penyembuhan yang disertai pemendekan, malrotasi, atau angulasi, yang menyebabkan sejumlah deformitas kosmetik, atau penurunan fungsional secara signifikan, atau adanya stress kontak dengan sendi yang berdekatan sehingga menimbulkan arthritis degeneratif.

Pemendekan yang terjadi pada ekstremitas atas lebih ditolerir dibanding ekstremitas bawah, dan angulasi lebih ditolerir terjadi pada humerus dibanding femur atau tibia. Pemendekan tulang lebih dari 1 inci pada ekstremitas bawah akan memberikan efek yang nyata. Bila derajat deformitas menyebabkan nyeri (akibat berjalan) atau mengganggu fungsi normal, koreksi bedah merupakan indikasi.

Tujuan utama terapi malunion adalah mengembalikan kelurusan dari tulang, dan pada ekstremitas bawah, juga untuk mengembalikan fungsi mekanik penyangga tubuh di antara panggul dan sendi kaki. Penanganan malunion mempertimbangkan berbagai aspek penderita, mencakup usia, lokasi fraktur, pemendekan, dan lain sebagainya, untuk kemudian ditentukan apakah penderita perlu dilakukan koreksi bedah, berupa remanipulasi, osteotomi, atau internal fixation. Penanganan nonoperatif seperti immobilisasi jarang dilakukan sebagai terapi tunggal, meski cukup berguna pada kasus delayed union
[download pdf lengkap] [Baca pendahuluannya di sini...]

Lupus Eritematosus Sistemik

Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit autoimun yang melibatkan berbagai organ dengan manifestasi klinis yang bervariasi dari yang ringan sampai berat. Pada keadaan awal, sering sulit dikenal sebagai SLE, karena manifestasinya sering tidak terjadi bersamaan. Sampai saat ini penyebab SLE belum diketahui. Terdapat dugaan faktor genetik, infeksi, dan lingkungan ikut berperan pada patofisiologi SLE (Sukmana,2004).

Prevalensi SLE bervariasi di tiap negara. Di Indonesia sampai saat ini belum pernah dilaporkan. Pada dekade terakhir, terlihat adanya kenaikan kasus yang berobat di RSCM Jakarta. Salah satu faktor adalah kewaspadaan dokter yang meningkat. Untuk ini perlu upaya penyebarluasan gambaran klinis kasus SLE yang perlu diketahui sehingga diagnosis lebih dini dan pengobatan lebih adekuat. Baron dkk melaporkan keterlibatan ginjal lebih sering ditemukan pada SLE dengan onset usia kurang dari 18 tahun. Sedangkan pada penelitian Font dkk, lesi diskoid dan serositis lebih sering ditemukan sebagai manifestasi awal pasien SLE laki-laki, sedangkan artritis lebih jarang.(Sukmana,2004)

Prevalensi SLE sangat bervariasi, semua suku bangsa dapat terkena tetapi lebih sering pada ras kulit hitam dan ada tendensi familiar. Insidensi tidak diketahui, dapat ditemukan pada semua usia. Dua puluh persen kasus SLE mulai pada masa anak-anak, biasanya anak yang telah berusia lebih dari 8 tahun. Samanta dkk pada penelitian populasi Asia dan kulit putih di Inggris melaporkan kelainan ginjal lebih sering ditemukan di populasi Asia. Wanita lebih sering terkena dibanding laki-laki, dengan perbandingan perempuan dan laki-laki 8:1, dan umumnya pada kelompok usia produktif (Sukmana,2004; Kadang,1995).
[download pdf lengkap] [Baca pendahuluannya di sini...]

Karsinoma Serviks (Kanker Serviks)

Serviks merupakan bagian uterus yang berada di bagian bawah, berupa saluran yang menghubungkan uterus dengan vagina. Pada daerah ini sering didapatkan pola pertumbuhan jaringan abnormal, baik jinak maupun ganas. Salah satu kelainan yang dapat ditemukan adalah karsinoma serviks, yang merupakan salah satu bentuk keganasan tersering pada serviks.

Karsinoma serviks adalah keganasan kedua yang paling sering terjadi pada wanita diseluruh dunia, dan masih merupakan penyebab utama kematian akibat keganasan pada wanita di negara-negara berkembang. Di Amerika Serikat, karsinoma serviks merupakan neoplasma ganas ke-4 yang sering terjadi pada wanita., setelah keganasan mammae, kolorektal, dan endometrium. Insidensi dari karsinoma servik yang invasif telah menurun secara terus menerus di Amerika Serikat selama beberapa dekade terakhir, namun terus meningkat di negara-negara berkembang. Perubahan trend epidemiologis ini di Amerika Serikat erat kaitannya dengan skrining besar – besaran dengan Papanicolaou tests (Pap smears).
Karsinoma serviks merupakan karsinoma yang primer berasal dari serviks (kanalis servikalis dan atau porsio). Setengah juta kasus dilaporkan setiap tahunnya dan insidensinya lebih tinggi di negara sedang berkembang. Hal ini kemungkinan besar diakibatkan belum rutinnya program skrining pap smear yang dilakukan. Di Amerika latin, gurun Sahara Afrika, dan Asia tenggara termasuk Indonesia, karsinoma serviks menduduki urutan pertama.

Di Indonesia dilaporkan jumlah karsinoma serviks baru adalah 100 per 100.000 kematian wanita per tahun atau 180.000 kasus baru dengan usia antara 45-54 tahun dan menempati urutan teratas dari 10 karsinoma yang terbanyak pada wanita. Perjalanan penyakit karsinoma serviks merupakan salah satu model karsinogenesis yang melalui tahapan atau multistep, dimulai dari karsinogenesis yang awal sampai terjadinya perubahan morfologi hingga menjadi karsinoma invasif. Studi-studi epidemiologi menunjukkan 90% lebih karsinoma serviks dihubungkan dengan jenis human papilomma virus (HPV). Beberapa bukti menunjukkan karsinoma dengan HPV negatif ditemukan pada wanita yang lebih tua dan dikaitkan dengan prognosis yang buruk.
[download pdf lengkap] [Baca pendahuluannya di sini...]

GANGGUAN MENTAL DAN PERILAKU AKIBAT PENGGUNAAN ZAT

Gangguan yang bervariasi luas dan berbeda keparahannya dari intoksikasi tanpa komplikasi dan penggunaan yang merugikan sampai gangguan psikotik yang jelas dan demensia, tetapi semua itu diakibatkan oleh karena penggunaan satu atau lebih zat psikoaktif (dengan atau tanpa resep dokter).
Sistem kode :
• zat yang digunakan = karakter ke 2 dan 3
• keadaan klinis = karakter ke 4 dan 5 (misalnya, F10.03 = Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan Alkohol, intoksikasi akut dengan delirium)
Pedoman Diagnostik

Identifikasi dari zat psikoaktif yang digunakan dapat dilakukan berdasarkan
- data laporan individu,
- analisis objektif dari spesirnen urin, darah, dan sebagainya
- bukti lain (adanya sampel obat yang ditemukan pada pasien, tanda dan gejala klinis, atau dari laporan pihak ketiga).

Selalu dianjurkan untuk mencari bukti yang menguatkan lebih dari satu sumber, yang berkaitan dengan penggunaan zat.

Analisis objektif memberikan bukti yang paling dapat diandalkan perihal adanya penggunaan akhir-akhir ini atau saat ini, namun data ini mempunyai keterbatasan terhadap penggunaan zat di masa lalu atau tingkat penggunaan saat ini.

Banyak pengguna obat menggunakan lebih dari satu jenis obat, namun bila mungkin, diagnosis gangguan harus diklasifikasi sesuai dengan zat tunggal (kategori dan zat) yang paling penting yang digunakannya (yang menyebabkan gangguan yang nyata), sedangkan kode F19 (gangguan akibat penggunaan obat multipel) hanya digunakan bila pola penggunaan zat psikoaktif benar-benar kacau dan sembarangan atau berbagai obat bercampur-baur.

Penyalahgunaan obat lain selain zat psikoaktif, seperti pencahar atau aspirin, harus diberi kode F55.- (penyalahgunaan zat yang tidak menyebabkan ketergantungan), dengan karakter ke 4 menunjukkan jenis zat tersebut.

Kasus gangguan mental (terutama delirium pada usia lanjut) akibat zat psikoaktif, tetapi tanpa salah satu gangguan dalam blok ini (misalnya, penggunaan yang merugikan atau sindrom ketergantungan) harus dimaksudkan dalam kode F00-F09. Bila keadaan delirium bertumpang-tindih dengan suatu gangguan dalam blok ini, maka harus diberi kode Flx.3 atau FIx.4.

Tingkat keterlibatan alkohol dapat ditunjukkan dengan menggu-nakan kode tambahan dari Bab XX ICD-10 : Y90- (ditetapkan dari kadar alkohol dalam darah) atau Y91- (ditetapkan dengan derajat intoksikasinya).
[download pdf lengkap] [Baca pendahuluannya di sini...]

Asma Bronkial Serangan Sedang Episodik Sering

Asma merupakan penyakit respiratorik kronis yang paling sering dijumpai pada anak. Prevalensi asma meningkat dari waktu ke waktu baik di negara maju maupun negara sedang berkembang. Peningkatan tersebut diduga berkaitan dengan pola hidup yang berubah dan peran faktor lingkungan terutama polusi baik indoor maupun outdoor. Prevalensi asma pada anak berkisar antara 2-30%. Di Indonesia, prevalensi asma pada anak sekitar 10% pada usia sekolah dasar,3 dan sekitar 6,5% pada usia sekolah menengah pertama.
Konsep patogenesis telah mengalami perubahan pada beberapa dekade terakhir. Pada awal 60-an, bronkokonstriksi merupakan dasar patogenesis asma, kemudian pada 70-an berkembang menjadi proses inflamasi kronis, sedangkan tahun 90-an selain inflamasi juga disertai adanya remodelling. Berkembangnya patogenesis tersebut berdampak pada tatalaksana asma secara mendasar, sehingga berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi asma. Pada awalnya pengobatan hanya diarahkan untuk mengatasi bronkokonstriksi dengan pemberian bronkodilator, kemudian berkembang dengan antiinflamasi. Pada saat ini upaya pengobatan asma selain dengan antiinflamasi, juga harus dapat mencegah terjadinya remodelling.

Selain upaya mencari tatalaksana asma yang terbaik, beberapa ahli membuat suatu pedoman tatalaksana asma yang bertujuan sebagai standar penanganan asma, misalnya Global Initiative for Asthma (GINA) dan Konsensus Internasional. Pedoman tersebut belum tentu dapat dipakai secara utuh mengingat beberapa fasilitas yang dianjurkan belum tentu tersedia, sehingga dianjurkan untuk membuat pedoman yang sesuai untuk masing-masing negara.

Akhir-akhir ini dilaporkan adanya peningkatan prevalensi morbiditas dan mortalitas asma di seluruh dunia, khususnya peningkatan frekuensi perawatan pasien di RS atau kunjungan ke emergensi. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan asma belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Selain masalah peningkatan pencemaran dan polusi, masalah sosioekonomi juga turut berperan dalam peningkatan prevalensi tersebut.7

[download pdf lengkap] [Baca pendahuluannya di sini...]

Kamis, 25 Maret 2010

Neurocutaneous Diseases

Neurocutaneous diseases adalah malformasi yang disebabkan oleh kelainan histogenesis, yaitu proliferasi sel abnormal yang terjadi pada sistem saraf serta kulit (sindroma neurokutanosa). Proliferasi sel Schwann abnormal pada sistem saraf pusat pada neurofibromatosis, dan astrosit pada sklerosis tuberosa, akan membentuk lesi massa. Bila lesi massa menggantikan tempat jaringan saraf, bisa disebut hamartoma. Neurofibromatosis, sklerosis tuberosa, dan penyakit von Hippel-Landau pertama kali dikelompokkan ke dalam neurocutaneous diseases oleh van der Hoeve tahun 1932. Kelainan Sturge-Weber, ataksia-telangiektasia, dan penyakit Osler-Weber-Rendu atau telangiektasis familial dimasukkan ke daftar neurocutaneous kemudian. Kelainan tersebut bersifat genetik dan herediter.1

Kelainan genetik abnormal pada neurocutaneous diseases merupakan pertumbuhan massa tumor yang dapat berkembang di banyak tempat di tubuh. Umumnya kelainan ini tampak pertama kali sebagai lesi kulit menyerupai tanda lahir, namun lesi tersebut berkembang kemudian dengan melibatkan sistem saraf. Sejumlah kondisi dapat didiagnosis sejak lahir, namun beberapa kelainan lainnya baru menunjukkan manifestasi klinis yang jelas hingga beberapa periode tahun kehidupan.2

Dasar patologi penyakit ini secara umum adalah perkembangan abnormal sel pada fase embrionik. Meskipun hingga saat ini belum ada terapi yang cukup efektif dalam mengatasi penyakit ini, umumnya penanganan lebih bersifat simptomatik dan bertujuan untuk memperbaiki kualitas hidup penderita serta mencegah komplikasi serius.2 Hal ini dipertimbangkan setelah terbukti bahwa sejumlah besar golongan penyakit ini menunjukkan kondisi jangka panjang dan tak dapat dikoreksi, karena sumber etiologi adalah genetik. Pencegahan dan minimalisasi deformitas den pengembangan kemampuan anak di rumah dan di lingkungan adalah yang terpenting.3

Meskipun insidensinya relatif jarang, namun perlu adanya pengetahuan mengenai penyakit ini, mengingat komplikasi yang dapat timbul dan besarnya kemungkinan penyakit ini diturunkan ke generasi selanjutnya. Selain itu, banyak hal dari penyakit ini yang masih belum dapat dipahami sepenuhnya oleh dunia medik, menunjukkan tantangan besar bagi dunia kedokteran untuk mengungkapkan penyakit neurokutaneous ini.

[download pdf lengkap] [Baca pendahuluannya di sini...]

Meningitis Serosa Pada Anak Dengan Malnutrisi Energi Protein Berat

Malnutrisi secara umum adalah istilah umum ketika terjadi kekurangan beberapa atau seluruh elemen nutrisi yang penting bagi tubuh. Malnutrisi merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak di dunia. Diperkirakan 9% anak di bawah usia 5 tahun mengalami kelaparan (dengan standar deviasi berat badan menurut tinggi badan di bawah -2SD menurut WHO/NCHS). Keadaan ini berisiko terhadap kematian atau gangguan pertumbuhan dan perkembangan mental yang berat.1
Kwashiorkor dan marasmus merupakan dua bentuk dari malnutrisi energi protein. Perbedaan mendasar antara kedua bentuk malnutrisi ini adalah ada (kwashiorkor) atau tidak (marasmus) adanya edema. Marasmus terjadi akibat intake protein dan kalori yang tidak adekuat, sedangkan kwashiorkor terjadi akibat intake protein yang tidak adekuat tetapi intake kalori masih dalam batas normal.2 Pada dasarnya, malnutrisi berat terjadi akibat asupan makanan yang menurun, dengan atau tanpa disertai gangguan metabolisme makanan spesifik. Keadaan yang labil, menurunnya daya imunitas, serta terganggunya sejumlah metabolisme tubuh pada pasien malnutrisi akan memudahkan terjadinya komplikasi.2,3

Komplikasi akut yang sering terjadi adalah infeksi, dengan gejala yang tidak begitu nyata, menyebabkan deteksi infeksi pada pasien sering terlambat. Bentuk infeksi yang terjadi dapat bermacam-macam, bisa dari bakteri, virus, parasit, maupun jamur, yang terjadi dalam berbagai derajat. Semakin buruk keadaan penderita, maka derajat infeksi akan semakin berat. Salah satu infeksi berat yang dapat terjadi pada pasien dengan malnutrisi berat adalah meningitis.2,3

Meningitis adalah infeksi cairan otak disertai radang yang mengenai meningen dan dalam derajat yang lebih ringan mengenai jaringan otak dan medula spinalis yang superfisial. Penyebab meningitis cukup bervariasi, namun secara klinis terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu meningitis purulenta dan serosa. Pada meningitis purulenta akan ditemukan pertumbuhan kuman dalam kulur, sedangkan pada meningitis serosa tidak, sehingga disebut juga meningitis aseptik. Penyebab meningitis serosa antara lain oleh mikobakterium dan virus.4

Meskipun meningitis serosa dapat sembuh dengan terapi yang tepat, namun keadaan penderita yang buruk dapat memperberat komplikasi selama gejala timbul, baik komplikasi dari gizi buruknya maupun komplikasi dari meningitisnya. Dengan demikian, penanganan yang komprehensif dan kontinu diperlukan untuk memperbaiki kualitas hidup penderita.4,5


[download pdf lengkap] [Baca pendahuluannya di sini...]

Glomerulonefritis Akut pada Anak

Glomerulonefritis akut adalah proses keradangan akut pada glomeruli akibat reaksi imunologis terhadap bakteri atau virus tertentu. Glomerulonefritis merupakan penyebab utama terjadinya gagal ginjal tahap akhir dan tingginya angka morbiditas baik pada anak maupun pada dewasa. Sebagian besar glomerulonefritis bersifat kronik dengan penyebab yang tidak jelas dan sebagian besar tampak bersifat imunologis. Glomerulonefritis menunjukkan kelainan yang terjadi pada glomerulus, bukan pada struktur jaringan ginjal yang lain seperti misalnya tubulus, jaringan interstitial maupun sistem vaskulernya.1

Glomerulonefritis sering ditemukan pada anak berumur antara 3-7 tahun dan lebih sering mengenai anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Perbandingan antara anak laki-laki dan perempuan adalah 2 : 1 dan jarang menyerang anak dibawah usia 3 tahun. Hasil penelitian multisenter di Indonesia pada tahun 1988, melaporkan adanya 170 pasien yang dirawat di rumah sakit pendidikan dalam 12 bulan. Pasien terbanyak dirawat di Surabaya (26,5%), kemudian disusul berturut-turut di Jakarta (24,7%), Bandung (17,6%), dan Palembang (8,2%). Pasien laki-laki dan perempuan berbanding 2 : 1 dan terbanyak pada anak usia antara 6-8 tahun (40,6%).1,2

Gejala glomerulonefritis bisa berlangsung secara mendadak (akut) atau secara menahun (kronis) seringkali tidak diketahui karena tidak menimbulkan gejala. Gejalanya dapat berupa mual-mual, kurang darah (anemia), atau hipertensi. Gejala umum berupa sembab kelopak mata, kencing sedikit, dan berwarna merah, biasanya disertai hipertensi. Penyakit ini umumnya (sekitar 80-95%) sembuh spontan, 10 % menjadi kronis, dan 5 % berakibat fatal.3


[download pdf lengkap] [Baca pendahuluannya di sini...]

Diagnosis dan Penatalaksanaan Endocardial Cushion Defects Pada Anak

Endocardial cushion defects (ECDs) merupakan kelainan yang terjadi akibat defek pada septum atrioventrikular jantung. Secara anatomi, kelainan ini juga disebut atrioventricular septal defects (AVSD. Prevalensi kelainan ini menurut Bronshten M,1 adalah 3 – 7% dari seluruh kelainan jantung bawaan pada anak. Pada fetus, insidensi ini lebih tinggi. Allen et al melaporkan bahwa pada populasi yang berisiko tinggi, insidensi dapat meningkat hingga 17%.1

Endocardial cushion defects merupakan masalah kelainan jantung yang serius yang sering kali sulit ditangani, sehingga pada kebanyakan kasus akan diatasi dengan intervensi pembedahan. Defek yang terdapat pada septum atrioventrikular menyebabkan sebagian darah yang berada di jantung bagian kiri akan mengalir ke jantung bagian kanan. Dengan demikian, akan terjadi peningkatan beban volume pada bagian jantung kanan, dan jantung harus bekerja lebih keras untuk memompa kelebihan volum tersebut. Pada tahap selanjutnya, kerja jantung yang berlebihan akan mengakibatkan kegagalan jantung kongestif.2

Beberapa hal penting yang perlu diketahui pada kelainan bawaan ECDs, terutama tipe totalis, adalah perlunya penegakan diagnosis yang cepat, karena perjalanan penyakit untuk sampai ke taraf gagal jantung relatif cepat, yaitu 1 hingga 2 bulan pertama kehidupan. Temuan klinis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang lain sebaiknya dilakukan secara cepat dan akurat untuk menentukan penanganan yang sesuai dengan derajat penyakit.3

Mengingat pentingnya penegakan diagnosis dan tatalaksana yang cepat dan tepat pada ECDs, maka perlu adanya pemahaman yang lebih baik mengenai kelainan ini sebagai salah satu kelainan jantung bawaan, karena sebagian gejala yang terdapat pada kelainan ini serupa dengan kelainan jantung bawaan lainnya.

[download pdf lengkap] [Baca pendahuluannya di sini...]

Karsinoma Serviks

Serviks merupakan bagian uterus yang berada di bagian bawah, berupa saluran yang menghubungkan uterus dengan vagina. Pada daerah ini sering didapatkan pola pertumbuhan jaringan abnormal, baik jinak maupun ganas. Salah satu kelainan yang dapat ditemukan adalah karsinoma serviks, yang merupakan salah satu bentuk keganasan tersering pada serviks.1

Karsinoma serviks adalah keganasan kedua yang paling sering terjadi pada wanita diseluruh dunia, dan masih merupakan penyebab utama kematian akibat keganasan pada wanita di negara-negara berkembang. Di Amerika Serikat, karsinoma serviks merupakan neoplasma ganas ke-4 yang sering terjadi pada wanita., setelah keganasan mammae, kolorektal, dan endometrium. Insidensi dari karsinoma servik yang invasif telah menurun secara terus menerus di Amerika Serikat selama beberapa dekade terakhir, namun terus meningkat di negara-negara berkembang. Perubahan trend epidemiologis ini di Amerika Serikat erat kaitannya dengan skrining besar – besaran dengan Papanicolaou tests (Pap smears).1, 8

Karsinoma serviks merupakan karsinoma yang primer berasal dari serviks (kanalis servikalis dan atau porsio). Setengah juta kasus dilaporkan setiap tahunnya dan insidensinya lebih tinggi di negara sedang berkembang. Hal ini kemungkinan besar diakibatkan belum rutinnya program skrining pap smear yang dilakukan. Di Amerika latin, gurun Sahara Afrika, dan Asia tenggara termasuk Indonesia, karsinoma serviks menduduki urutan pertama.1, 6

Di Indonesia dilaporkan jumlah karsinoma serviks baru adalah 100 per 100.000 kematian wanita per tahun atau 180.000 kasus baru dengan usia antara 45-54 tahun dan menempati urutan teratas dari 10 karsinoma yang terbanyak pada wanita. Perjalanan penyakit karsinoma serviks merupakan salah satu model karsinogenesis yang melalui tahapan atau multistep, dimulai dari karsinogenesis yang awal sampai terjadinya perubahan morfologi hingga menjadi karsinoma invasif. Studi-studi epidemiologi menunjukkan 90% lebih karsinoma serviks dihubungkan dengan jenis human papilomma virus (HPV). Beberapa bukti menunjukkan karsinoma dengan HPV negatif ditemukan pada wanita yang lebih tua dan dikaitkan dengan prognosis yang buruk.3,10


[download pdf lengkap] [Baca pendahuluannya di sini...]

Selasa, 09 Maret 2010

Malaria Serebral

Malaria adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh sporozoa dari genus Plasmodium, yang secara klinis ditandai dengan serangan paroksismal dan periodik, disertai anemia, pembesaran limpa dan kadang-kadang dengan komplikasi pernisiosa seperti ikterik, diare, black water fever, acute tubular necrosis, dan malaria cerebral.1 Berdasarkan laporan WHO (2000), terdapat lebih dari 2400 juta penduduk atau 40% dari penduduk dunia tinggal di daerah endemis malaria. Sementara, prevalensi penyakit malaria di seluruh dunia diperkirakan antara 300-500 juta klinis setiap tahunnya. Sedangkan angka kematian yang dilaporkan mencapai 1-1,5 juta penduduk per tahun, terutama terjadi pada anak-anak di Afrika, khususnya daerah yang kurang terjangkau oleh pelayanan kesehatan.2
Di Indonesia, sampai saat ini angka kesakitan penyakit malaria masih cukup tinggi, terutama di daerah luar Jawa dan Bali. Namun, kini di daerah Jawa dan Bali sudah terjadi peningkatan jumlah penderita malaria. Hal ini diakibatkan banyaknya pengungsi yang berasal dari daerah yang dilanda konflik, sehingga juga ikut berperan bagi terjadinya penyebaran malaria dari daerah endemis ke daerah non-endemis.2
Dalam pelaksanaan program pemberantasan malaria, sudah banyak biaya dan tenaga yang dikerahkan tetapi belum membuahkan basil yang nyata. Salah satu kendala adalah keterlambatan mendiagnosis malaria sedini mungkin sehingga tidak dapat segera diberi pengobatan. Oleh sebab itu dalam perbaikan strategi pemberantasan malaria, upaya diagnosis dini dan pengobatan tepat merupakan sasaran utama. Walaupun sampai saat ini diagnosis pasti hanya dapat dipastikan melalui pemeriksaan parasitologis yang memerlukan keterampilan dan fasilitas khusus.3
Dari 300 - 500 juta kasus klinis malaria di dunia, terdapat sekitar 3 juta kasus malaria berat (malaria komplikasi) dan kasus kematian akibat malaria. Dari kasus tersebut, paling banyak disebabkan oleh Plasmodium falciparum. Malaria berat atau malaria komplikasi yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum ditandai dengan disfungsi berbagai organ. Salah satu jenis malaria komplikasi adalah malaria serebral6. Studi terhadap populasi migran di Indonesia menunjukkan bahwa risiko terkena malaria komplikasi setiap tahunnya 1,34 kali pada orang dewasa (>15 tahun) dan 0,25 kali pada anak-anak (<10 tahun). Patogenesis malaria komplikasi meliputi cytoadherent pada mikrovaskular terhadap eritrosit terinfeksi parasit, adherens antara eritrosit normal dengan eritrosit yang mengandung parasit (rosetting), dan pengeluaran sitokin sebagai respons terhadap substansi toksik yang dikeluarkan oleh Plasmodium falciparum yang menyebabkan kerusakan jaringan7,8. Namun, pada keadaan tertentu pengeluaran sitokin sebagai respons terhadap substansi toksik dari Plasmodium falciparum terjadi secara berlebihan sehingga menyebabkan kerusakan jaringan yang sangat berat dan fatal. Dalam makalah ini, penulis akan menguraikan tentang mekanisme imunologis yang berperan bagi terjadinya malaria serebral (malaria komplikasi).2 Penulisan makalah tinjauan kepustakaan ini bertujuan memberikan informasi mengenai infeksi malaria falciparum dengan komplikasi malaria berat, yaitu malaria serebral. Secara khusus, akan dibahas mengenai etiologi, patogenesis, penegakan diagnosis, terapi, prognosis, hingga prevensi dan follow up pasien yang menderita malaria serebral.

[download pdf lengkap] [Baca pendahuluannya di sini...]

GANGGUAN SPEKTRUM AFEKTIF

Afektif didefinisikan sebagai “alam perasaan” atau “suasana perasaan” yang bersifat internal. Ekspresi eksternal dari afektif disebut afek, atau “eksternal display”. Keadaan yang paling utama dalam gangguan afektif ini adalah afek yang menurun atau tertekan yang disebut depresi, dan afek yang meningkat atau ekspansif yang disebut mania (manik). Baik afek yang menurun atau terdepresi dan afek yang meningkat bersifat gradual , suatu kontinuum dari keadaan normal ke bentuk yang jelas-jelas patologik. Pada beberapa individu gejala-gejalanya bisa disertai dengan ciri psikotik.
Gejala-gejala ringan dapat berupa peningkatan dari kesedihan atau elasi normal, sedang gejala-gejala berat dikaitkan dengan sindrom gangguan afektif yang terlihat berbeda secara kualitatif dari proses normal dan membutuhkan terapi spesifik.
Penyebab depresi dan mania secara pasti belum diketahui. Faktor-faktor yang diduga berperan pada terjadinya gangguan afektif ini, yaitu peristiwa-peristiwa kehidupan yang berakibat stressor (problem keuangan, perkawinan, pekerjaan, dll), faktor kepribadian, genetik, dan biologik lain seperti gangguan hormon, keseimbangan neurotransmiter, biogenik amin, dan imunologik.


[download pdf lengkap] [Baca pendahuluannya di sini...]

Celah bibir dan langit-langit (Cleft Lip Palate) Bilateral Komplit (LAHSHAL)

Celah bibir dan langit-langit (cleft lip palate – CLP) merupakan kelainan kongenital yang mengenai bibir dan langit-langit, baik sebagai manifestasi dari sindrom atau berdiri sendiri.1 Kelainan ini merupakan defek kongenital tersering di area orofasial. Terdapat sekurang-kurangnya 300 macam sindrom yang berkaitan dengan CLP.2
Insidensi CLP adalah 1 dari 600 kelahiran hidup, dan 1 dari 1000 kelahiran hidup dalam bentuk celah langit-langit saja. Insidensi lebih rendahi ditemukan pada kelompok asia (1:500) dan lebih rendah pada kelompok kulit hitam (1:2000). Dari seluruh kasus CLP, 15% merupakan celah bibir saja, 45% celah bibir dan langit-langit, dan 40% celah langit-langit saja. Etiologi kelainan ini masih merupakan hipotesis, yang menyangkut perkembangan embrional, genetik, dan berbagai faktor lain yang menyertai.2
CLP dapat memberikan berbagai konsekuensi dalam hal kualitas hidup anak hingga ia dewasa. Berbagai masalah tersebut mencakup banyak hal, seperti masalah sosial, psikologis, risiko infeksi telinga, gangguan bicara / vonasi, gangguan makan, dan lain sebagainya. Karena banyaknya masalah yang dihadapi ini, maka dalam penanganan CLP juga perlu melibatkan berbagai bidang spesialistik. Untuk pembedahan kecacatan dilakukan oleh ahli bedah plastik, kemudian untuk masalah telinga ditangani oleh ahli THT, seorang therapist juga diperlukan untuk melatih vonasi, orthodontist berperan dalam meratakan gigi, dan lain sebagainya. Bila kelainan merupakan bagian dari suatu sindrom, maka perlu adanya konfirmasi dari ahli pediatri bahwa kelainan kongenital lain yang menyertai tidak memberikan risiko berarti apabila dilakukan suatu tindakan koreksi.1,3

[download pdf lengkap] [Baca pendahuluannya di sini...]

Kanker Serviks Pada Kehamilan

Serviks merupakan bagian uterus yang berada di bagian bawah, berupa saluran yang menghubungkan uterus dengan vagina. Pada daerah ini sering didapatkan pola pertumbuhan jaringan abnormal, baik jinak maupun ganas. Salah satu kelainan yang dapat ditemukan adalah karsinoma serviks, yang merupakan salah satu bentuk keganasan tersering pada serviks.1 Insidens dan angka kematian kanker serviks uteri sangat bervariasi di antara negara-negara di dunia. Di negara maju kanker serviks uteri menempati urutan keempat setelah kanker payudara, kolorektal dan endometrium. Sedangkan di negara-negara berkembang kanker serviks uteri menempati urutan pertama. Indeks rasio insidensi kanker serviks di negara berkembang 5-6 kali lebih tinggi dibanding negara maju.2,3
Insidensi kanker serviks uteri dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Setiap tahunnya sekitar 500.000 perempuan didiagnosa menderita kanker serviks dan hampir 300.000 meninggal dunia. Secara total 2,2 juta perempuan di dunia menderita kanker serviks. Dari data beberapa rumah sakit di Indonesia menurut perkiraan Depkes RI insidens kanker di Indonesia kurang lebih 100 kanker/100.000 penduduk per tahun atau sekitar 180.000 kasus baru per tahun dengan kanker ginekologi pada tempat teratas dan kurang lebih ¾ diantaranya adalah kanker serviks uteri.2 Data lain menyebutkan di Indonesia, diperkirakan setiap harinya terjadi 41 kasus baru kanker serviks dan 20 perempuan meninggal dunia karena penyakit tersebut. Kanker serviks cenderung muncul pada perempuan berusia 35-55 tahun, namun dapat pula muncul pada perempuan dengan usia yang lebih muda.3
Beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan kanker cervix antara lain : riwayat berhubungan intim pada usia muda (<20 tahun), riwayat berganti-ganti pasangan, merokok, pemakaian obat-obat imunosupresan atau menderita penyakit yang menurunkan daya tahan tubuh seperti AIDS, infeksi virus Herpes Simpleks tipe 2, infeksi Human Papilloma virus (HPV) dan sebagainya.4 Kanker pada kehamilan merupakan hal yang jarang dan kanker serviks merupakan keganasan yang paling sering pada kehamilan. Insidensi kanker serviks adalah 1,2 kasus per 10.000 kehamilan pada saat kehamilan saja dan 4,5 kasus per 10.000 kehamilan hingga 12 bulan pascapersalinan.5 Saat ini, frekuensi kanker serviks pada kehamilan semakin meningkat dengan semakin maju serta skrining rutin yang dilakukan. Bagaimanapun pengobatan keganasan serviks harus memperhatikan kondisi ibu serta janin dengan mempertimbangkan jenis terapi terbaik, waktu pemberian terapi demi kelangsungan hidup janin, efek pengobatan serta cara kelahiran.6

[download pdf lengkap] [Baca pendahuluannya di sini...]

Advanced Glycation End Products (AGEs) dan Efeknya Terhadap Mineralisasi Matriks Terkait Collagen Cross-Link

Tulang merupakan jaringan yang kompleks yang memiliki prinsip fungsional untuk menahan kekuatan mekanik. Tulang tersusun atas matriks tulang yang merupakan sistem dua fase. Fase mineral menentukan kekakuan tulang dan fase serat kolagen yang memiliki duktilitas dan kemampuan menyerap energi. Keseluruhan dari fungsi dan kekuatan tulang tersebut tidak dapat dilepaskan dari bagaimana proses mineralisasi matriks tulang terjadi.1

Mineralisasi diatur melalui pembentukan matriks kolagen melalui reaksi hidroksilasi, dan modifikasi matriks kolagen melalui pola cross-linking. Collagen cross-link berperan penting dalam membentuk kekuatan tulang dan sebagai pendukung utama fungsional tulang. Collagen cross-link secara garis besar dibedakan ke dalam dua tipe jalur reaksi, yaitu enzimatik (lisil oksidase) dan non-enzimatik (AGEs). Jalur crosslink enzimatik sangat diperlukan dalam memperkuat kolagen fibril dan tulang. Formasi cross-link enzimatik ini memiliki kontribusi yang besar dalam mempertahankan stabilitas tulang dari berbagai efek mekanik hingga level tertentu.2,3
Jalur cross-link ¬non-enzimatik diperankan oleh Advance Glycation End Products (AGEs), yang merupakan produk akhir reaksi glikosilasi, yakni reaksi antara gula pereduksi dan gugus amin pada protein. Mekanisme pembentukan AGEs sangat rumit, tetapi hasil reaksi glikosilasi tersebut terjadi karena adanya peningkatan kadar glukosa sehingga hooking antara gugus karbonil aldehid atau keton (glukosa, fruktosa, dan ribosa) dengan gugus amin pada protein menjadi irreversibel. Jadi, jalur ini akan meningkat bila di dalam proses mineralisasi, kadar glukosa relatif tinggi di dalam sirkulasi dan jaringan.4
Pada proses mineralisasi primer, cross-link enzimatik berperan penting dalam menyokong deposisi kalsium pada matriks kolagen. Mineralisasi yang terjadi dengan jalur yang tidak biasa memicu adanya perubahan pola-pola cross-link akibat perubahan susunan molekular. Dalam hal ini, pembentukan senyawa AGEs akan menginduksi fungsi osteoblastik dengan cara berinteraksi dengan reseptor AGEs. Konsekuensinya, AGEs justru menimbulkan efek negatif dari keseluruhan proses mineralisasi primer.3
Mengingat masih sedikitnya pemahaman mengenai bagaimana peranan jalur enzimatik dan non-enzimatik dalam proses mineralisasi matriks tulang. Maka, perlu untuk diketahui bagaimana efek yang ditimbulkan bila jalur non-enzimatik yang diperankan AGEs lebih mendominasi dalam menyusun cross-link kolagen pada proses mineralisasi matriks.

[fulltext pdf download] [Baca pendahuluannya di sini...]