ILMU PENGETAHUAN BAGAI CAHAYA DALAM GELAP

Kamis, 25 Maret 2010

Neurocutaneous Diseases

Neurocutaneous diseases adalah malformasi yang disebabkan oleh kelainan histogenesis, yaitu proliferasi sel abnormal yang terjadi pada sistem saraf serta kulit (sindroma neurokutanosa). Proliferasi sel Schwann abnormal pada sistem saraf pusat pada neurofibromatosis, dan astrosit pada sklerosis tuberosa, akan membentuk lesi massa. Bila lesi massa menggantikan tempat jaringan saraf, bisa disebut hamartoma. Neurofibromatosis, sklerosis tuberosa, dan penyakit von Hippel-Landau pertama kali dikelompokkan ke dalam neurocutaneous diseases oleh van der Hoeve tahun 1932. Kelainan Sturge-Weber, ataksia-telangiektasia, dan penyakit Osler-Weber-Rendu atau telangiektasis familial dimasukkan ke daftar neurocutaneous kemudian. Kelainan tersebut bersifat genetik dan herediter.1

Kelainan genetik abnormal pada neurocutaneous diseases merupakan pertumbuhan massa tumor yang dapat berkembang di banyak tempat di tubuh. Umumnya kelainan ini tampak pertama kali sebagai lesi kulit menyerupai tanda lahir, namun lesi tersebut berkembang kemudian dengan melibatkan sistem saraf. Sejumlah kondisi dapat didiagnosis sejak lahir, namun beberapa kelainan lainnya baru menunjukkan manifestasi klinis yang jelas hingga beberapa periode tahun kehidupan.2

Dasar patologi penyakit ini secara umum adalah perkembangan abnormal sel pada fase embrionik. Meskipun hingga saat ini belum ada terapi yang cukup efektif dalam mengatasi penyakit ini, umumnya penanganan lebih bersifat simptomatik dan bertujuan untuk memperbaiki kualitas hidup penderita serta mencegah komplikasi serius.2 Hal ini dipertimbangkan setelah terbukti bahwa sejumlah besar golongan penyakit ini menunjukkan kondisi jangka panjang dan tak dapat dikoreksi, karena sumber etiologi adalah genetik. Pencegahan dan minimalisasi deformitas den pengembangan kemampuan anak di rumah dan di lingkungan adalah yang terpenting.3

Meskipun insidensinya relatif jarang, namun perlu adanya pengetahuan mengenai penyakit ini, mengingat komplikasi yang dapat timbul dan besarnya kemungkinan penyakit ini diturunkan ke generasi selanjutnya. Selain itu, banyak hal dari penyakit ini yang masih belum dapat dipahami sepenuhnya oleh dunia medik, menunjukkan tantangan besar bagi dunia kedokteran untuk mengungkapkan penyakit neurokutaneous ini.

[download pdf lengkap] [Baca pendahuluannya di sini...]

Meningitis Serosa Pada Anak Dengan Malnutrisi Energi Protein Berat

Malnutrisi secara umum adalah istilah umum ketika terjadi kekurangan beberapa atau seluruh elemen nutrisi yang penting bagi tubuh. Malnutrisi merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak di dunia. Diperkirakan 9% anak di bawah usia 5 tahun mengalami kelaparan (dengan standar deviasi berat badan menurut tinggi badan di bawah -2SD menurut WHO/NCHS). Keadaan ini berisiko terhadap kematian atau gangguan pertumbuhan dan perkembangan mental yang berat.1
Kwashiorkor dan marasmus merupakan dua bentuk dari malnutrisi energi protein. Perbedaan mendasar antara kedua bentuk malnutrisi ini adalah ada (kwashiorkor) atau tidak (marasmus) adanya edema. Marasmus terjadi akibat intake protein dan kalori yang tidak adekuat, sedangkan kwashiorkor terjadi akibat intake protein yang tidak adekuat tetapi intake kalori masih dalam batas normal.2 Pada dasarnya, malnutrisi berat terjadi akibat asupan makanan yang menurun, dengan atau tanpa disertai gangguan metabolisme makanan spesifik. Keadaan yang labil, menurunnya daya imunitas, serta terganggunya sejumlah metabolisme tubuh pada pasien malnutrisi akan memudahkan terjadinya komplikasi.2,3

Komplikasi akut yang sering terjadi adalah infeksi, dengan gejala yang tidak begitu nyata, menyebabkan deteksi infeksi pada pasien sering terlambat. Bentuk infeksi yang terjadi dapat bermacam-macam, bisa dari bakteri, virus, parasit, maupun jamur, yang terjadi dalam berbagai derajat. Semakin buruk keadaan penderita, maka derajat infeksi akan semakin berat. Salah satu infeksi berat yang dapat terjadi pada pasien dengan malnutrisi berat adalah meningitis.2,3

Meningitis adalah infeksi cairan otak disertai radang yang mengenai meningen dan dalam derajat yang lebih ringan mengenai jaringan otak dan medula spinalis yang superfisial. Penyebab meningitis cukup bervariasi, namun secara klinis terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu meningitis purulenta dan serosa. Pada meningitis purulenta akan ditemukan pertumbuhan kuman dalam kulur, sedangkan pada meningitis serosa tidak, sehingga disebut juga meningitis aseptik. Penyebab meningitis serosa antara lain oleh mikobakterium dan virus.4

Meskipun meningitis serosa dapat sembuh dengan terapi yang tepat, namun keadaan penderita yang buruk dapat memperberat komplikasi selama gejala timbul, baik komplikasi dari gizi buruknya maupun komplikasi dari meningitisnya. Dengan demikian, penanganan yang komprehensif dan kontinu diperlukan untuk memperbaiki kualitas hidup penderita.4,5


[download pdf lengkap] [Baca pendahuluannya di sini...]

Glomerulonefritis Akut pada Anak

Glomerulonefritis akut adalah proses keradangan akut pada glomeruli akibat reaksi imunologis terhadap bakteri atau virus tertentu. Glomerulonefritis merupakan penyebab utama terjadinya gagal ginjal tahap akhir dan tingginya angka morbiditas baik pada anak maupun pada dewasa. Sebagian besar glomerulonefritis bersifat kronik dengan penyebab yang tidak jelas dan sebagian besar tampak bersifat imunologis. Glomerulonefritis menunjukkan kelainan yang terjadi pada glomerulus, bukan pada struktur jaringan ginjal yang lain seperti misalnya tubulus, jaringan interstitial maupun sistem vaskulernya.1

Glomerulonefritis sering ditemukan pada anak berumur antara 3-7 tahun dan lebih sering mengenai anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Perbandingan antara anak laki-laki dan perempuan adalah 2 : 1 dan jarang menyerang anak dibawah usia 3 tahun. Hasil penelitian multisenter di Indonesia pada tahun 1988, melaporkan adanya 170 pasien yang dirawat di rumah sakit pendidikan dalam 12 bulan. Pasien terbanyak dirawat di Surabaya (26,5%), kemudian disusul berturut-turut di Jakarta (24,7%), Bandung (17,6%), dan Palembang (8,2%). Pasien laki-laki dan perempuan berbanding 2 : 1 dan terbanyak pada anak usia antara 6-8 tahun (40,6%).1,2

Gejala glomerulonefritis bisa berlangsung secara mendadak (akut) atau secara menahun (kronis) seringkali tidak diketahui karena tidak menimbulkan gejala. Gejalanya dapat berupa mual-mual, kurang darah (anemia), atau hipertensi. Gejala umum berupa sembab kelopak mata, kencing sedikit, dan berwarna merah, biasanya disertai hipertensi. Penyakit ini umumnya (sekitar 80-95%) sembuh spontan, 10 % menjadi kronis, dan 5 % berakibat fatal.3


[download pdf lengkap] [Baca pendahuluannya di sini...]

Diagnosis dan Penatalaksanaan Endocardial Cushion Defects Pada Anak

Endocardial cushion defects (ECDs) merupakan kelainan yang terjadi akibat defek pada septum atrioventrikular jantung. Secara anatomi, kelainan ini juga disebut atrioventricular septal defects (AVSD. Prevalensi kelainan ini menurut Bronshten M,1 adalah 3 – 7% dari seluruh kelainan jantung bawaan pada anak. Pada fetus, insidensi ini lebih tinggi. Allen et al melaporkan bahwa pada populasi yang berisiko tinggi, insidensi dapat meningkat hingga 17%.1

Endocardial cushion defects merupakan masalah kelainan jantung yang serius yang sering kali sulit ditangani, sehingga pada kebanyakan kasus akan diatasi dengan intervensi pembedahan. Defek yang terdapat pada septum atrioventrikular menyebabkan sebagian darah yang berada di jantung bagian kiri akan mengalir ke jantung bagian kanan. Dengan demikian, akan terjadi peningkatan beban volume pada bagian jantung kanan, dan jantung harus bekerja lebih keras untuk memompa kelebihan volum tersebut. Pada tahap selanjutnya, kerja jantung yang berlebihan akan mengakibatkan kegagalan jantung kongestif.2

Beberapa hal penting yang perlu diketahui pada kelainan bawaan ECDs, terutama tipe totalis, adalah perlunya penegakan diagnosis yang cepat, karena perjalanan penyakit untuk sampai ke taraf gagal jantung relatif cepat, yaitu 1 hingga 2 bulan pertama kehidupan. Temuan klinis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang lain sebaiknya dilakukan secara cepat dan akurat untuk menentukan penanganan yang sesuai dengan derajat penyakit.3

Mengingat pentingnya penegakan diagnosis dan tatalaksana yang cepat dan tepat pada ECDs, maka perlu adanya pemahaman yang lebih baik mengenai kelainan ini sebagai salah satu kelainan jantung bawaan, karena sebagian gejala yang terdapat pada kelainan ini serupa dengan kelainan jantung bawaan lainnya.

[download pdf lengkap] [Baca pendahuluannya di sini...]

Karsinoma Serviks

Serviks merupakan bagian uterus yang berada di bagian bawah, berupa saluran yang menghubungkan uterus dengan vagina. Pada daerah ini sering didapatkan pola pertumbuhan jaringan abnormal, baik jinak maupun ganas. Salah satu kelainan yang dapat ditemukan adalah karsinoma serviks, yang merupakan salah satu bentuk keganasan tersering pada serviks.1

Karsinoma serviks adalah keganasan kedua yang paling sering terjadi pada wanita diseluruh dunia, dan masih merupakan penyebab utama kematian akibat keganasan pada wanita di negara-negara berkembang. Di Amerika Serikat, karsinoma serviks merupakan neoplasma ganas ke-4 yang sering terjadi pada wanita., setelah keganasan mammae, kolorektal, dan endometrium. Insidensi dari karsinoma servik yang invasif telah menurun secara terus menerus di Amerika Serikat selama beberapa dekade terakhir, namun terus meningkat di negara-negara berkembang. Perubahan trend epidemiologis ini di Amerika Serikat erat kaitannya dengan skrining besar – besaran dengan Papanicolaou tests (Pap smears).1, 8

Karsinoma serviks merupakan karsinoma yang primer berasal dari serviks (kanalis servikalis dan atau porsio). Setengah juta kasus dilaporkan setiap tahunnya dan insidensinya lebih tinggi di negara sedang berkembang. Hal ini kemungkinan besar diakibatkan belum rutinnya program skrining pap smear yang dilakukan. Di Amerika latin, gurun Sahara Afrika, dan Asia tenggara termasuk Indonesia, karsinoma serviks menduduki urutan pertama.1, 6

Di Indonesia dilaporkan jumlah karsinoma serviks baru adalah 100 per 100.000 kematian wanita per tahun atau 180.000 kasus baru dengan usia antara 45-54 tahun dan menempati urutan teratas dari 10 karsinoma yang terbanyak pada wanita. Perjalanan penyakit karsinoma serviks merupakan salah satu model karsinogenesis yang melalui tahapan atau multistep, dimulai dari karsinogenesis yang awal sampai terjadinya perubahan morfologi hingga menjadi karsinoma invasif. Studi-studi epidemiologi menunjukkan 90% lebih karsinoma serviks dihubungkan dengan jenis human papilomma virus (HPV). Beberapa bukti menunjukkan karsinoma dengan HPV negatif ditemukan pada wanita yang lebih tua dan dikaitkan dengan prognosis yang buruk.3,10


[download pdf lengkap] [Baca pendahuluannya di sini...]

Selasa, 09 Maret 2010

Malaria Serebral

Malaria adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh sporozoa dari genus Plasmodium, yang secara klinis ditandai dengan serangan paroksismal dan periodik, disertai anemia, pembesaran limpa dan kadang-kadang dengan komplikasi pernisiosa seperti ikterik, diare, black water fever, acute tubular necrosis, dan malaria cerebral.1 Berdasarkan laporan WHO (2000), terdapat lebih dari 2400 juta penduduk atau 40% dari penduduk dunia tinggal di daerah endemis malaria. Sementara, prevalensi penyakit malaria di seluruh dunia diperkirakan antara 300-500 juta klinis setiap tahunnya. Sedangkan angka kematian yang dilaporkan mencapai 1-1,5 juta penduduk per tahun, terutama terjadi pada anak-anak di Afrika, khususnya daerah yang kurang terjangkau oleh pelayanan kesehatan.2
Di Indonesia, sampai saat ini angka kesakitan penyakit malaria masih cukup tinggi, terutama di daerah luar Jawa dan Bali. Namun, kini di daerah Jawa dan Bali sudah terjadi peningkatan jumlah penderita malaria. Hal ini diakibatkan banyaknya pengungsi yang berasal dari daerah yang dilanda konflik, sehingga juga ikut berperan bagi terjadinya penyebaran malaria dari daerah endemis ke daerah non-endemis.2
Dalam pelaksanaan program pemberantasan malaria, sudah banyak biaya dan tenaga yang dikerahkan tetapi belum membuahkan basil yang nyata. Salah satu kendala adalah keterlambatan mendiagnosis malaria sedini mungkin sehingga tidak dapat segera diberi pengobatan. Oleh sebab itu dalam perbaikan strategi pemberantasan malaria, upaya diagnosis dini dan pengobatan tepat merupakan sasaran utama. Walaupun sampai saat ini diagnosis pasti hanya dapat dipastikan melalui pemeriksaan parasitologis yang memerlukan keterampilan dan fasilitas khusus.3
Dari 300 - 500 juta kasus klinis malaria di dunia, terdapat sekitar 3 juta kasus malaria berat (malaria komplikasi) dan kasus kematian akibat malaria. Dari kasus tersebut, paling banyak disebabkan oleh Plasmodium falciparum. Malaria berat atau malaria komplikasi yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum ditandai dengan disfungsi berbagai organ. Salah satu jenis malaria komplikasi adalah malaria serebral6. Studi terhadap populasi migran di Indonesia menunjukkan bahwa risiko terkena malaria komplikasi setiap tahunnya 1,34 kali pada orang dewasa (>15 tahun) dan 0,25 kali pada anak-anak (<10 tahun). Patogenesis malaria komplikasi meliputi cytoadherent pada mikrovaskular terhadap eritrosit terinfeksi parasit, adherens antara eritrosit normal dengan eritrosit yang mengandung parasit (rosetting), dan pengeluaran sitokin sebagai respons terhadap substansi toksik yang dikeluarkan oleh Plasmodium falciparum yang menyebabkan kerusakan jaringan7,8. Namun, pada keadaan tertentu pengeluaran sitokin sebagai respons terhadap substansi toksik dari Plasmodium falciparum terjadi secara berlebihan sehingga menyebabkan kerusakan jaringan yang sangat berat dan fatal. Dalam makalah ini, penulis akan menguraikan tentang mekanisme imunologis yang berperan bagi terjadinya malaria serebral (malaria komplikasi).2 Penulisan makalah tinjauan kepustakaan ini bertujuan memberikan informasi mengenai infeksi malaria falciparum dengan komplikasi malaria berat, yaitu malaria serebral. Secara khusus, akan dibahas mengenai etiologi, patogenesis, penegakan diagnosis, terapi, prognosis, hingga prevensi dan follow up pasien yang menderita malaria serebral.

[download pdf lengkap] [Baca pendahuluannya di sini...]

GANGGUAN SPEKTRUM AFEKTIF

Afektif didefinisikan sebagai “alam perasaan” atau “suasana perasaan” yang bersifat internal. Ekspresi eksternal dari afektif disebut afek, atau “eksternal display”. Keadaan yang paling utama dalam gangguan afektif ini adalah afek yang menurun atau tertekan yang disebut depresi, dan afek yang meningkat atau ekspansif yang disebut mania (manik). Baik afek yang menurun atau terdepresi dan afek yang meningkat bersifat gradual , suatu kontinuum dari keadaan normal ke bentuk yang jelas-jelas patologik. Pada beberapa individu gejala-gejalanya bisa disertai dengan ciri psikotik.
Gejala-gejala ringan dapat berupa peningkatan dari kesedihan atau elasi normal, sedang gejala-gejala berat dikaitkan dengan sindrom gangguan afektif yang terlihat berbeda secara kualitatif dari proses normal dan membutuhkan terapi spesifik.
Penyebab depresi dan mania secara pasti belum diketahui. Faktor-faktor yang diduga berperan pada terjadinya gangguan afektif ini, yaitu peristiwa-peristiwa kehidupan yang berakibat stressor (problem keuangan, perkawinan, pekerjaan, dll), faktor kepribadian, genetik, dan biologik lain seperti gangguan hormon, keseimbangan neurotransmiter, biogenik amin, dan imunologik.


[download pdf lengkap] [Baca pendahuluannya di sini...]

Celah bibir dan langit-langit (Cleft Lip Palate) Bilateral Komplit (LAHSHAL)

Celah bibir dan langit-langit (cleft lip palate – CLP) merupakan kelainan kongenital yang mengenai bibir dan langit-langit, baik sebagai manifestasi dari sindrom atau berdiri sendiri.1 Kelainan ini merupakan defek kongenital tersering di area orofasial. Terdapat sekurang-kurangnya 300 macam sindrom yang berkaitan dengan CLP.2
Insidensi CLP adalah 1 dari 600 kelahiran hidup, dan 1 dari 1000 kelahiran hidup dalam bentuk celah langit-langit saja. Insidensi lebih rendahi ditemukan pada kelompok asia (1:500) dan lebih rendah pada kelompok kulit hitam (1:2000). Dari seluruh kasus CLP, 15% merupakan celah bibir saja, 45% celah bibir dan langit-langit, dan 40% celah langit-langit saja. Etiologi kelainan ini masih merupakan hipotesis, yang menyangkut perkembangan embrional, genetik, dan berbagai faktor lain yang menyertai.2
CLP dapat memberikan berbagai konsekuensi dalam hal kualitas hidup anak hingga ia dewasa. Berbagai masalah tersebut mencakup banyak hal, seperti masalah sosial, psikologis, risiko infeksi telinga, gangguan bicara / vonasi, gangguan makan, dan lain sebagainya. Karena banyaknya masalah yang dihadapi ini, maka dalam penanganan CLP juga perlu melibatkan berbagai bidang spesialistik. Untuk pembedahan kecacatan dilakukan oleh ahli bedah plastik, kemudian untuk masalah telinga ditangani oleh ahli THT, seorang therapist juga diperlukan untuk melatih vonasi, orthodontist berperan dalam meratakan gigi, dan lain sebagainya. Bila kelainan merupakan bagian dari suatu sindrom, maka perlu adanya konfirmasi dari ahli pediatri bahwa kelainan kongenital lain yang menyertai tidak memberikan risiko berarti apabila dilakukan suatu tindakan koreksi.1,3

[download pdf lengkap] [Baca pendahuluannya di sini...]

Kanker Serviks Pada Kehamilan

Serviks merupakan bagian uterus yang berada di bagian bawah, berupa saluran yang menghubungkan uterus dengan vagina. Pada daerah ini sering didapatkan pola pertumbuhan jaringan abnormal, baik jinak maupun ganas. Salah satu kelainan yang dapat ditemukan adalah karsinoma serviks, yang merupakan salah satu bentuk keganasan tersering pada serviks.1 Insidens dan angka kematian kanker serviks uteri sangat bervariasi di antara negara-negara di dunia. Di negara maju kanker serviks uteri menempati urutan keempat setelah kanker payudara, kolorektal dan endometrium. Sedangkan di negara-negara berkembang kanker serviks uteri menempati urutan pertama. Indeks rasio insidensi kanker serviks di negara berkembang 5-6 kali lebih tinggi dibanding negara maju.2,3
Insidensi kanker serviks uteri dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Setiap tahunnya sekitar 500.000 perempuan didiagnosa menderita kanker serviks dan hampir 300.000 meninggal dunia. Secara total 2,2 juta perempuan di dunia menderita kanker serviks. Dari data beberapa rumah sakit di Indonesia menurut perkiraan Depkes RI insidens kanker di Indonesia kurang lebih 100 kanker/100.000 penduduk per tahun atau sekitar 180.000 kasus baru per tahun dengan kanker ginekologi pada tempat teratas dan kurang lebih ¾ diantaranya adalah kanker serviks uteri.2 Data lain menyebutkan di Indonesia, diperkirakan setiap harinya terjadi 41 kasus baru kanker serviks dan 20 perempuan meninggal dunia karena penyakit tersebut. Kanker serviks cenderung muncul pada perempuan berusia 35-55 tahun, namun dapat pula muncul pada perempuan dengan usia yang lebih muda.3
Beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan kanker cervix antara lain : riwayat berhubungan intim pada usia muda (<20 tahun), riwayat berganti-ganti pasangan, merokok, pemakaian obat-obat imunosupresan atau menderita penyakit yang menurunkan daya tahan tubuh seperti AIDS, infeksi virus Herpes Simpleks tipe 2, infeksi Human Papilloma virus (HPV) dan sebagainya.4 Kanker pada kehamilan merupakan hal yang jarang dan kanker serviks merupakan keganasan yang paling sering pada kehamilan. Insidensi kanker serviks adalah 1,2 kasus per 10.000 kehamilan pada saat kehamilan saja dan 4,5 kasus per 10.000 kehamilan hingga 12 bulan pascapersalinan.5 Saat ini, frekuensi kanker serviks pada kehamilan semakin meningkat dengan semakin maju serta skrining rutin yang dilakukan. Bagaimanapun pengobatan keganasan serviks harus memperhatikan kondisi ibu serta janin dengan mempertimbangkan jenis terapi terbaik, waktu pemberian terapi demi kelangsungan hidup janin, efek pengobatan serta cara kelahiran.6

[download pdf lengkap] [Baca pendahuluannya di sini...]

Advanced Glycation End Products (AGEs) dan Efeknya Terhadap Mineralisasi Matriks Terkait Collagen Cross-Link

Tulang merupakan jaringan yang kompleks yang memiliki prinsip fungsional untuk menahan kekuatan mekanik. Tulang tersusun atas matriks tulang yang merupakan sistem dua fase. Fase mineral menentukan kekakuan tulang dan fase serat kolagen yang memiliki duktilitas dan kemampuan menyerap energi. Keseluruhan dari fungsi dan kekuatan tulang tersebut tidak dapat dilepaskan dari bagaimana proses mineralisasi matriks tulang terjadi.1

Mineralisasi diatur melalui pembentukan matriks kolagen melalui reaksi hidroksilasi, dan modifikasi matriks kolagen melalui pola cross-linking. Collagen cross-link berperan penting dalam membentuk kekuatan tulang dan sebagai pendukung utama fungsional tulang. Collagen cross-link secara garis besar dibedakan ke dalam dua tipe jalur reaksi, yaitu enzimatik (lisil oksidase) dan non-enzimatik (AGEs). Jalur crosslink enzimatik sangat diperlukan dalam memperkuat kolagen fibril dan tulang. Formasi cross-link enzimatik ini memiliki kontribusi yang besar dalam mempertahankan stabilitas tulang dari berbagai efek mekanik hingga level tertentu.2,3
Jalur cross-link ¬non-enzimatik diperankan oleh Advance Glycation End Products (AGEs), yang merupakan produk akhir reaksi glikosilasi, yakni reaksi antara gula pereduksi dan gugus amin pada protein. Mekanisme pembentukan AGEs sangat rumit, tetapi hasil reaksi glikosilasi tersebut terjadi karena adanya peningkatan kadar glukosa sehingga hooking antara gugus karbonil aldehid atau keton (glukosa, fruktosa, dan ribosa) dengan gugus amin pada protein menjadi irreversibel. Jadi, jalur ini akan meningkat bila di dalam proses mineralisasi, kadar glukosa relatif tinggi di dalam sirkulasi dan jaringan.4
Pada proses mineralisasi primer, cross-link enzimatik berperan penting dalam menyokong deposisi kalsium pada matriks kolagen. Mineralisasi yang terjadi dengan jalur yang tidak biasa memicu adanya perubahan pola-pola cross-link akibat perubahan susunan molekular. Dalam hal ini, pembentukan senyawa AGEs akan menginduksi fungsi osteoblastik dengan cara berinteraksi dengan reseptor AGEs. Konsekuensinya, AGEs justru menimbulkan efek negatif dari keseluruhan proses mineralisasi primer.3
Mengingat masih sedikitnya pemahaman mengenai bagaimana peranan jalur enzimatik dan non-enzimatik dalam proses mineralisasi matriks tulang. Maka, perlu untuk diketahui bagaimana efek yang ditimbulkan bila jalur non-enzimatik yang diperankan AGEs lebih mendominasi dalam menyusun cross-link kolagen pada proses mineralisasi matriks.

[fulltext pdf download] [Baca pendahuluannya di sini...]