ILMU PENGETAHUAN BAGAI CAHAYA DALAM GELAP

Kamis, 29 April 2010

Malunion Suprakondiler Femur

Secara teoritis, setiap tulang yang tidak pulih dalam posisi anatomi yang tepat akan mengalami malunion. Istilah malunion digunakan untuk kondisi fraktur dengan penyembuhan yang disertai pemendekan, malrotasi, atau angulasi, yang menyebabkan sejumlah deformitas kosmetik, atau penurunan fungsional secara signifikan, atau adanya stress kontak dengan sendi yang berdekatan sehingga menimbulkan arthritis degeneratif.

Pemendekan yang terjadi pada ekstremitas atas lebih ditolerir dibanding ekstremitas bawah, dan angulasi lebih ditolerir terjadi pada humerus dibanding femur atau tibia. Pemendekan tulang lebih dari 1 inci pada ekstremitas bawah akan memberikan efek yang nyata. Bila derajat deformitas menyebabkan nyeri (akibat berjalan) atau mengganggu fungsi normal, koreksi bedah merupakan indikasi.

Tujuan utama terapi malunion adalah mengembalikan kelurusan dari tulang, dan pada ekstremitas bawah, juga untuk mengembalikan fungsi mekanik penyangga tubuh di antara panggul dan sendi kaki. Penanganan malunion mempertimbangkan berbagai aspek penderita, mencakup usia, lokasi fraktur, pemendekan, dan lain sebagainya, untuk kemudian ditentukan apakah penderita perlu dilakukan koreksi bedah, berupa remanipulasi, osteotomi, atau internal fixation. Penanganan nonoperatif seperti immobilisasi jarang dilakukan sebagai terapi tunggal, meski cukup berguna pada kasus delayed union
[download pdf lengkap] [Baca pendahuluannya di sini...]

Lupus Eritematosus Sistemik

Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit autoimun yang melibatkan berbagai organ dengan manifestasi klinis yang bervariasi dari yang ringan sampai berat. Pada keadaan awal, sering sulit dikenal sebagai SLE, karena manifestasinya sering tidak terjadi bersamaan. Sampai saat ini penyebab SLE belum diketahui. Terdapat dugaan faktor genetik, infeksi, dan lingkungan ikut berperan pada patofisiologi SLE (Sukmana,2004).

Prevalensi SLE bervariasi di tiap negara. Di Indonesia sampai saat ini belum pernah dilaporkan. Pada dekade terakhir, terlihat adanya kenaikan kasus yang berobat di RSCM Jakarta. Salah satu faktor adalah kewaspadaan dokter yang meningkat. Untuk ini perlu upaya penyebarluasan gambaran klinis kasus SLE yang perlu diketahui sehingga diagnosis lebih dini dan pengobatan lebih adekuat. Baron dkk melaporkan keterlibatan ginjal lebih sering ditemukan pada SLE dengan onset usia kurang dari 18 tahun. Sedangkan pada penelitian Font dkk, lesi diskoid dan serositis lebih sering ditemukan sebagai manifestasi awal pasien SLE laki-laki, sedangkan artritis lebih jarang.(Sukmana,2004)

Prevalensi SLE sangat bervariasi, semua suku bangsa dapat terkena tetapi lebih sering pada ras kulit hitam dan ada tendensi familiar. Insidensi tidak diketahui, dapat ditemukan pada semua usia. Dua puluh persen kasus SLE mulai pada masa anak-anak, biasanya anak yang telah berusia lebih dari 8 tahun. Samanta dkk pada penelitian populasi Asia dan kulit putih di Inggris melaporkan kelainan ginjal lebih sering ditemukan di populasi Asia. Wanita lebih sering terkena dibanding laki-laki, dengan perbandingan perempuan dan laki-laki 8:1, dan umumnya pada kelompok usia produktif (Sukmana,2004; Kadang,1995).
[download pdf lengkap] [Baca pendahuluannya di sini...]

Karsinoma Serviks (Kanker Serviks)

Serviks merupakan bagian uterus yang berada di bagian bawah, berupa saluran yang menghubungkan uterus dengan vagina. Pada daerah ini sering didapatkan pola pertumbuhan jaringan abnormal, baik jinak maupun ganas. Salah satu kelainan yang dapat ditemukan adalah karsinoma serviks, yang merupakan salah satu bentuk keganasan tersering pada serviks.

Karsinoma serviks adalah keganasan kedua yang paling sering terjadi pada wanita diseluruh dunia, dan masih merupakan penyebab utama kematian akibat keganasan pada wanita di negara-negara berkembang. Di Amerika Serikat, karsinoma serviks merupakan neoplasma ganas ke-4 yang sering terjadi pada wanita., setelah keganasan mammae, kolorektal, dan endometrium. Insidensi dari karsinoma servik yang invasif telah menurun secara terus menerus di Amerika Serikat selama beberapa dekade terakhir, namun terus meningkat di negara-negara berkembang. Perubahan trend epidemiologis ini di Amerika Serikat erat kaitannya dengan skrining besar – besaran dengan Papanicolaou tests (Pap smears).
Karsinoma serviks merupakan karsinoma yang primer berasal dari serviks (kanalis servikalis dan atau porsio). Setengah juta kasus dilaporkan setiap tahunnya dan insidensinya lebih tinggi di negara sedang berkembang. Hal ini kemungkinan besar diakibatkan belum rutinnya program skrining pap smear yang dilakukan. Di Amerika latin, gurun Sahara Afrika, dan Asia tenggara termasuk Indonesia, karsinoma serviks menduduki urutan pertama.

Di Indonesia dilaporkan jumlah karsinoma serviks baru adalah 100 per 100.000 kematian wanita per tahun atau 180.000 kasus baru dengan usia antara 45-54 tahun dan menempati urutan teratas dari 10 karsinoma yang terbanyak pada wanita. Perjalanan penyakit karsinoma serviks merupakan salah satu model karsinogenesis yang melalui tahapan atau multistep, dimulai dari karsinogenesis yang awal sampai terjadinya perubahan morfologi hingga menjadi karsinoma invasif. Studi-studi epidemiologi menunjukkan 90% lebih karsinoma serviks dihubungkan dengan jenis human papilomma virus (HPV). Beberapa bukti menunjukkan karsinoma dengan HPV negatif ditemukan pada wanita yang lebih tua dan dikaitkan dengan prognosis yang buruk.
[download pdf lengkap] [Baca pendahuluannya di sini...]

GANGGUAN MENTAL DAN PERILAKU AKIBAT PENGGUNAAN ZAT

Gangguan yang bervariasi luas dan berbeda keparahannya dari intoksikasi tanpa komplikasi dan penggunaan yang merugikan sampai gangguan psikotik yang jelas dan demensia, tetapi semua itu diakibatkan oleh karena penggunaan satu atau lebih zat psikoaktif (dengan atau tanpa resep dokter).
Sistem kode :
• zat yang digunakan = karakter ke 2 dan 3
• keadaan klinis = karakter ke 4 dan 5 (misalnya, F10.03 = Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan Alkohol, intoksikasi akut dengan delirium)
Pedoman Diagnostik

Identifikasi dari zat psikoaktif yang digunakan dapat dilakukan berdasarkan
- data laporan individu,
- analisis objektif dari spesirnen urin, darah, dan sebagainya
- bukti lain (adanya sampel obat yang ditemukan pada pasien, tanda dan gejala klinis, atau dari laporan pihak ketiga).

Selalu dianjurkan untuk mencari bukti yang menguatkan lebih dari satu sumber, yang berkaitan dengan penggunaan zat.

Analisis objektif memberikan bukti yang paling dapat diandalkan perihal adanya penggunaan akhir-akhir ini atau saat ini, namun data ini mempunyai keterbatasan terhadap penggunaan zat di masa lalu atau tingkat penggunaan saat ini.

Banyak pengguna obat menggunakan lebih dari satu jenis obat, namun bila mungkin, diagnosis gangguan harus diklasifikasi sesuai dengan zat tunggal (kategori dan zat) yang paling penting yang digunakannya (yang menyebabkan gangguan yang nyata), sedangkan kode F19 (gangguan akibat penggunaan obat multipel) hanya digunakan bila pola penggunaan zat psikoaktif benar-benar kacau dan sembarangan atau berbagai obat bercampur-baur.

Penyalahgunaan obat lain selain zat psikoaktif, seperti pencahar atau aspirin, harus diberi kode F55.- (penyalahgunaan zat yang tidak menyebabkan ketergantungan), dengan karakter ke 4 menunjukkan jenis zat tersebut.

Kasus gangguan mental (terutama delirium pada usia lanjut) akibat zat psikoaktif, tetapi tanpa salah satu gangguan dalam blok ini (misalnya, penggunaan yang merugikan atau sindrom ketergantungan) harus dimaksudkan dalam kode F00-F09. Bila keadaan delirium bertumpang-tindih dengan suatu gangguan dalam blok ini, maka harus diberi kode Flx.3 atau FIx.4.

Tingkat keterlibatan alkohol dapat ditunjukkan dengan menggu-nakan kode tambahan dari Bab XX ICD-10 : Y90- (ditetapkan dari kadar alkohol dalam darah) atau Y91- (ditetapkan dengan derajat intoksikasinya).
[download pdf lengkap] [Baca pendahuluannya di sini...]

Asma Bronkial Serangan Sedang Episodik Sering

Asma merupakan penyakit respiratorik kronis yang paling sering dijumpai pada anak. Prevalensi asma meningkat dari waktu ke waktu baik di negara maju maupun negara sedang berkembang. Peningkatan tersebut diduga berkaitan dengan pola hidup yang berubah dan peran faktor lingkungan terutama polusi baik indoor maupun outdoor. Prevalensi asma pada anak berkisar antara 2-30%. Di Indonesia, prevalensi asma pada anak sekitar 10% pada usia sekolah dasar,3 dan sekitar 6,5% pada usia sekolah menengah pertama.
Konsep patogenesis telah mengalami perubahan pada beberapa dekade terakhir. Pada awal 60-an, bronkokonstriksi merupakan dasar patogenesis asma, kemudian pada 70-an berkembang menjadi proses inflamasi kronis, sedangkan tahun 90-an selain inflamasi juga disertai adanya remodelling. Berkembangnya patogenesis tersebut berdampak pada tatalaksana asma secara mendasar, sehingga berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi asma. Pada awalnya pengobatan hanya diarahkan untuk mengatasi bronkokonstriksi dengan pemberian bronkodilator, kemudian berkembang dengan antiinflamasi. Pada saat ini upaya pengobatan asma selain dengan antiinflamasi, juga harus dapat mencegah terjadinya remodelling.

Selain upaya mencari tatalaksana asma yang terbaik, beberapa ahli membuat suatu pedoman tatalaksana asma yang bertujuan sebagai standar penanganan asma, misalnya Global Initiative for Asthma (GINA) dan Konsensus Internasional. Pedoman tersebut belum tentu dapat dipakai secara utuh mengingat beberapa fasilitas yang dianjurkan belum tentu tersedia, sehingga dianjurkan untuk membuat pedoman yang sesuai untuk masing-masing negara.

Akhir-akhir ini dilaporkan adanya peningkatan prevalensi morbiditas dan mortalitas asma di seluruh dunia, khususnya peningkatan frekuensi perawatan pasien di RS atau kunjungan ke emergensi. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan asma belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Selain masalah peningkatan pencemaran dan polusi, masalah sosioekonomi juga turut berperan dalam peningkatan prevalensi tersebut.7

[download pdf lengkap] [Baca pendahuluannya di sini...]