ILMU PENGETAHUAN BAGAI CAHAYA DALAM GELAP

Selasa, 08 Juni 2010

Malnutrisi Energi Protein Berat Pada Anak Dengan Spondilitis Tuberkulosis

Malnutrisi adalah istilah umum ketika terjadi kekurangan beberapa atau seluruh elemen nutrisi yang penting bagi tubuh. Malnutrisi merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak di dunia. Diperkirakan 9% anak di bawah usia 5 tahun mengalami kelaparan (dengan standar deviasi berat badan menurut tinggi badan di bawah -2 SD menurut WHO/NCHS). Keadaan ini berisiko terhadap kematian atau gangguan pertumbuhan dan perkembangan mental yang berat.1
Kwashiorkor dan marasmus merupakan dua bentuk dari malnutrisi energi protein. Perbedaan mendasar antara kedua bentuk malnutrisi ini adalah ada (kwashiorkor) atau tidak (marasmus) adanya edema. Marasmus terjadi akibat intake protein dan kalori yang tidak adekuat, sedangkan kwashiorkor terjadi akibat intake protein yang tidak adekuat tetapi intake kalori masih dalam batas normal. Pada dasarnya, malnutrisi berat terjadi akibat asupan makanan yang menurun, dengan atau tanpa disertai gangguan metabolisme makanan spesifik.2
Malnutrisi berat, baik tipe kwashiorkor maupun marasmus, seringkali disertai penyakit yang menjadi dasar gangguan intake nutrisi. Kelainan tersebut, antara lain infeksi kronis, keganasan, gangguan imun, dan sebagainya.2 Malnutrisi merupakan masalah serius di dunia. Sekitar 49% dari 10,4 juta kematian balita di negara berkembang berkaitan dengan kondisi malnutrisi energi protein.3 Pada anak, infeksi kronis yang disebabkan oleh kuman tuberkulosis merupakan salah satu kejadian yang sering terjadi di negara-negara berkembang. Beratnya penyakit dan penyebarannya ke esktrapulmonal secara langsung akan mempengaruhi keadaan metabolisme, status imun, dan perubahan anatomi. Keadaan lain berupa kelumpuhan, status keuangan orang tua selama pengobatan, dan kepedulian orang tua terhadap anak, secara tidak langsung akan memperparah status gizi anak dengan tuberkulosis.2,4
[download pdf lengkap] [Baca pendahuluannya di sini...]

Peranan Laktoferin pada Air Susu Ibu

Air susu ibu (ASI) merupakan sumber nutrisi utama dan aman bagi bayi. ASI terbukti berperan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan bayi, baik secara fisik maupun psiko-sosial. Selain itu, ASI juga memiliki efek proteksi terhadap infeksi serta meningkatkan imunitas bayi. Hal ini terkait dengan berbagai kandungan nutrisi pada ASI.1,2

Nutrisi yang terkandung di dalam ASI dapat dibedakan menjadi dua, yaitu makronutrien dan mikronutrien. Makronutrien ASI antara lain berupa karbohidrat, lemak, dan protein. Mikronutrien ASI diperankan oleh sejumlah mineral dan vitamin. Secara keseluruhan, semua komponen ASI tersebut memiliki efek yang sangat besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak selanjutnya. Salah satu komponen penting yang terdapat di dalam ASI adalah laktoferin.3,4
Laktoferin merupakan salah satu glikoprotein yang terutama disekresikan bersama ASI. Laktoferin merupakan komponen penting pada ASI terkait kemampuan antimikrobial,5 antiinflamasi,6 dan antioksidan yang dimilikinya.7 Berbagai potensi laktoferin tersebut tidak terlepas dari kemampuannya dalam mengikat besi di dalam tubuh.8
Pada bayi, berbagai potensi laktoferin tersebut akan membantu meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit. Asupan laktoferin yang cukup dapat dipenuhi dengan pemberian ASI yang adekuat kepada bayi. Mengingat pentingnya peran laktoferin terhadap bayi, maka di dalam makalah ini akan dipaparkan secara rinci mengenai peranan laktoferin, mencakup efek antiinflamasi, antibakteri, dan antioksidan laktoferin, serta tinjauan laktoferin menurut aspek nutrigenomik.5
[download pdf lengkap] [Baca pendahuluannya di sini...]

GANGGUAN SPEKTRUM KEPRIBADIAN SKIZOFRENIK

(Terjemahan: Hirsch SR, Weinberger DR. Schizophrenia. Blackwell Science, Cabridge Univ. Press)


Skizofrenia sudah dikembangkan dalam cakupan genetik dan biologis menjadi etiologi, patofisiologi, dan penatalaksanaannya. Psikiatri Eropa seperti Bleuler dan Kahn merupakan orang pertama yang meneliti perbedaan yang terdapat pada gangguan skizofrenia, dan relatif pada penderita skizofrenia menunjukkan gejala seperti psikosis yang lebih ringan dengan karakteristik sama yang diteliti pada penderita skizofrenia kronik

Gangguan skizofrenia yang lebih ringan ini dinamakan sebagai 'skizoid' oleh Bleuler dan untuk mengetahui hubungan antara gejala dan skizofrenia walaupun individu tersebut memiliki sedikit gejala psikosis. Saat skizoid telah diterapkan secara luas kepada individu yang diindikasikan untuk diisolasi atau memiliki kehidupan fantasi yang aktif, gambarannya akan konsisten dengan variasi dari kelainan yang terjadi termasuk gangguan afektif, bentuk lain seperti borderline skizofrenia atau skizotipe (Rado, 1962) menggantikan skizoid dan telah dikembangkan untuk mengidentifikasi lebih mendalam suatu kelainan secara genetik dan klinis yang berhubungan dengan skizofrenia.
Konsep diagnosis ini telah diperbarui ketika diagnosis gangguan personalitas skizotipe, yang merupakan diagnosis baru pada nomenklatur psikiatri dan diperkenalkan dalam Diagnostic and Statistical Manual DSM-III (APA, 1980). Kriteria gangguan personalitas skizotipe didasari atas gejala klinis dari penderita dalam sebuah penelitian Kety, Rosenthal, dan Wender (Kety et al., 1975) dengan diagnosis 'borderline skizofrenia' atau 'skizofrenia laten'. Gangguan personalitas skizotipal lebih mudah untuk diinvestigasi. Pada konteks ini beberapa percobaan dilakukan terhadap fenomenologi, genetik, biologi, hasil dan respon pengobatan yang mana gangguan personalitas skizotipal berhubungan dengan skizofrenia kronik pada suatu tempat. Saat ini banyak penelitian yang mengagumkan telah dilakukan sehingga memungkinkan untuk diketahuinya multifaktor yang berperan seperti genetik, dan biologis yang menjadi poses dasar skizofrenia. Pada BAB ini akan ditampilkan hasil dari bebagai percobaan tersebut sebagai upaya mengetahui spektrum skizofrenia.
[download pdf lengkap] [Baca pendahuluannya di sini...]

Tonsilitis Kronis Hipertrofi dan Obstructive Sleep Apnea (OSA) Pada Anak

Tonsilitis Kronis merupakan keradangan kronik pada tonsil yang biasanya merupakan kelanjutan dari infeksi akut berulang atau infeksi subklinis dari tonsil. Kelainan ini merupakan kelainan tersering pada anak di bidang THT. Untuk seluruh kasus, prevalensinya tertinggi setelah nasofaring akut, yaitu 3,8% dengan insidensi sekitar 6,75% dari jumlah seluruh kunjungan. Pada tonsilitis kronis, ukuran tonsil dapat membesar sedemikian sehingga disebut tonsilitis kronis hipertrofi.
Tonsilitis kronis dengan hipertrofi tonsil dapat menyebabkan berbagai gangguan tidur, seperti mendengkur sampai dengan terjadinya apnea obstruktif sewaktu tidur (Obstructive Sleep apnea). Obstructive sleep apnea atau OSA merupakan kondisi medik yang serius, ditandai dengan episode obstruksi saluran napas atas selama tidur sehingga menyebabkan berkurangnya asupan oksigen secara periodik. Beberapa ahli memperkirakan kelainan ini secara epidemiologi merupakan kelainan yang umum di masyarakat, namun sering tidak terdiagnosis. Mengingat dampak yang ditimbulkan, maka tonsilitis kronis hipertrofi yang disertai dengan sleep apnea harus segera ditindak-lanjuti dengan pendekatan operatif.2-4
Secara umum, penatalaksanaan tonsilitis kronis dibagi dua, yaitu konservatif dan operatif. Terapi konservatif dilakukan untuk mengeliminasi kausa, yaitu infeksi, dan mengatasi keluhan yang mengganggu. Bila tonsil membesar dan menyebabkan sumbatan jalan napas, disfagia berat, gangguan tidur, terbentuk abses, atau tidak berhasil dengan pengobatan konvensional, maka operasi tonsilektomi perlu dilakukan.5,6
Pada kasus yang tidak tertangani dengan baik, tonsilitis kronis hipertrofi secara keseluruhan akan mempengaruhi kualitas hidup anak, baik fisik maupun psikis. Kualitas anak dalam prestasi belajar akan terganggu. Hal ini diperkuat oleh penelitian Farokah dkk (2007) yang membuktikan adanya perbedaan yang bermakna antara prestasi belajar siswa yang menderita tonsilitis kronis dan yang tidak. Dampak lainnya adalah meningkatnya permasalahan psikologi yang mencakup gangguan emosional, gangguan perilaku, dan neurokognitif.2
Mengingat angka kejadian yang tinggi dan dampak yang ditimbulkan dapat mempengaruhi kualitas hidup anak, maka pengetahuan yang memadai mengenai tonsilitis kronis diperlukan guna penegakan diagnosis dan terapi yang tepat dan rasional.
[download pdf lengkap] [Baca pendahuluannya di sini...]