ILMU PENGETAHUAN BAGAI CAHAYA DALAM GELAP

Senin, 26 Oktober 2009

Perkembangan Lanjutan Metode Skrining Kanker Serviks dan Antisipasinya dengan Vaksinasi HPV di Indonesia

1. Pendahuluan
Kanker serviks telah menduduki posisi teratas dari seluruh kanker yang diderita perempuan di Indonesia, dan fakta menunjukkan sekitar dua pertiga kasus kanker serviks yang datang ke klinik, telah berada dalam fase lanjut. Berdasarkan data patologi kanker di berbagai negara, kasus kanker serviks juga menempati peringkat utama. Sementara itu, insidensi kanker serviks sendiri terus meningkat dari sekitar 25 per 100.000 pada tahun 1988 menjadi sekitar 32 per 100.000 pada 1992. Dari seluruh gambaran dan data global mengenai kanker serviks, penyakit ini memiliki indeks rasio yang lebih tinggi hingga 5 sampai 6 kali pada negara-negara berkembang.

Deteksi dini secara gencar mulai dilakukan di berbagai rumah sakit dan unit kesehatan masyarakat atau klinik-klinik yang memiliki kompetensi dalam bidang kanker. Sejak dibentuk dan dinasionalisasikannya badan kanker Indonesian Cancer Foundation pada tahun 1977, program skrining kanker serviks segera dimulai. Namun, program yang telah disusun tidak sistematis, menyebabkan keuntungan yang diperoleh kecil, yang tampak dari sedikitnya penurunan insidensi dan derajat mortalitas kanker serviks.

2. Pembentukan National Cancer Control Program (NCCP) dan program Skrining

Melalui dukungan WHO, Indonesia kemudian membentuk National Cancer Control Program (NCCP) pada tahun 1989, dan termasuk satu dari 19 negara yang juga memiliki NCCP. Skrining kanker serviks kemudian menjadi prioritas utama dan program kerja badan kanker nasional lainnya mengikuti standar baku yang telah ditetapkan NCCP. Untuk mendukung kinerja dan perencanaan program kontrol kanker, Menteri Kesehatan juga mengorganisir National Commitee for Cancer Control yang diwakili oleh Menteri Kesehatan, tim rumah sakit pendidikan pemerintah, dan organisasi non-pemerintah terkait, yaitu Indonesian Society for Oncology, Indonesian Cancer Foundation, dan Family Welfare Movement (PKK). Komite tersebut telah menyusun suatu program yang dinamakan Total Integrated Cancer Control Program yang menekankan program berbasis masyarakat. Melalui pendekatan sistem ‘ten hemmet’, Family Welfare Movement (PKK) akan menunjuk satu kader yang bertanggungjawab terhadap 10 rumah tangga yang berada di lingkungannya. Melalui kerjasama ini, Indonesian Foundation Cancer akan semakin mudah mencapai target populasi secara efektif.

Proyek demonstrasi WHO untuk skrining kanker serviks menggunakan standar tes pap smear yang telah sepenuhnya dikerjakan di Sidoarjo, Jawa Timur dari tahun 1994 hingga 1995. Program khusus untuk kontrol kanker berbasis masyarakat yang didemonstrasikan di Sidoarjo ini kemudian dipresentasikan di Jakarta International Cancer Conference pada tahun 1995. Pada kesempatan yang sama, dalam workshop UICC juga telah dideklarasikan “Jakarta Statement on Cancer Control” yang juga termasuk program kontrol kanker berbasis masyarakat. Program skrining kemudian disebarkan ke lima provinsi lainnya yang memiliki cabang Indonesian Cancer Foundation.

Sebagai lanjutan kerjasama dengan WHO, Indonesian Cancer Foundation berkolaborasi dengan Program for Appropriate Technology in Health (PATH) – organisasi yang juga memperhatikan masalah kontrol kanker secara umum – untuk membuat brosur informatif yang mencakup edukasi kanker pada orang dewasa dan anak. Brosur tersebut dilengkapi dengan leaflet dan flipchart yang ditujukan untuk digunakan oleh pembuat informasi kanker. Program ini akan diujikan dan ditinjau ulang ke sejumlah provinsi sebelum dipublikasikan dan didistribusikan ke seluruh wilayah.

Melalui kerjasama antara PATH dan Bank Dunia, metode visual menggunakan gineskopi, dengan lensa magnifikasi 2,5, setelah aplikasi asam asetat (VIA= visual inspection after acetic acid), telah diuji oleh tim dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Indonesian Cancer Foundation. Uji coba khusus dilakukan Dr. Paul Blumenthal yang juga turut terlibat dalam fase penilaian di universitas, sebelum dilakukan uji coba di lapangan. Fase studi lapangan diorganisir oleh Puskesmas Kusuma Buana, yang dikoordinir oleh Dr. Judo Prihartono. Evaluasi yang dilakukan Dr. Vivien Tsu menunjukkan metode tersebut memberikan hasil yang memuaskan dan dapat dikerjakan oleh tenaga non-dokter, seperti bidan. Sebanyak 1.554 wanita diskrining menggunakan gineskopi dan sitologi standar. Dari jumlah tersebut, 150 kasus dinyatakan positif melalui pemeriksaan gineskopi, dan jumlah tersebut menyusut menjadi 30 kasus setelah dikonfirmasi melalui pemeriksaan sitologi.

Tingkat sensitivitas uji adalah sebesar 76,9% dengan spesifisitas 92,0%, dengan nilai preditif positif (PPV) yang rendah (20%) dan nilai prediktif negatif (NPV) yang tinggi (99,4%). Kendala yang paling nyata adalah adanya hasil yang bertentangan antara aplikasi gineskopi dengan sitologi standar, sementara teknik gineskopi jauh lebih mudah diaplikasikan kepada dokter atau bidan/perawat. Hal ini menunjukkan perlunya pelatihan yang lebih baik dan lebih lama untuk memperkecil kemungkinan kesalahan melakukan gineskopi. Namun, kendala lainnya adalah gineskopi relatif mahal bila diaplikasikan untuk skrining skala besar.

Pencegahan sekunder yang dibentuk di 8 provinsi di bawah program CBCC yang menggunakan tes pap smear, juga mendapat dukungan dari Netherlands Royal Cancer Foundation. Program ini masih berjalan hingga sekarang, meskipun dalam evaluasi kerjanya menunjukkan kinerja yang tidak sistematis dan hasil yang kurang memuaskan. Namun, setidaknya program ini telah memenuhi 30-60% hasil kerja dan meminimalisir dampak kerugiannya.

3. Proyek Demonstrasi Awal dengan Pendekatan ‘See and Treat’

Sehubungan dengan pembaharuan metode skrining sitologi yang konvensional dengan metode yang baru, sejak Oktober 2004 hingga September 2006, Proyek Demonstrasi untuk skrining kanker serviks yang menggunakan pendekatan ‘see and treat’ telah dilakukan di 3 provinsi, yaitu Tasikmalaya-Bandung, Jakarta, dan Bali. Ketiga area tersebut mewakili situasi yang berbeda secara geografis, demografis, dan dinamika masyarakat. Tasikmalaya merupakan daerah pedesaan dan agrikultural, dengan etnis Sunda, beragama islam, dan mobilitasnya (migrasi) rendah. Bali memiliki suasana pedesaan yang kurang karena pengaruh turisme, sebagian besar beretnik Bali, beragama hindu, dan juga merupakan masyarakat yang relatif tertutup dalam hal migrasi. Jakarta merupakan kota metropolitan dengan sejumlah area kumuh, dan memiliki percampuran budaya, etnik, dan agama yang beragam. Tim multidisiplin yang mencakup kelompok universitas dan dua tim kerja lapangan difasilitasi dengan klinik yang fleksibel / mobile untuk menjalankan program skrining ‘see and treat’ di tempat, serta diperlengkapi dengan fasilitas puskesmas.

Tim kerja lapangan terdiri atas dua orang dokter, dua perawat ObGyn, dua perawat puskesmas, dan dua sitoskriner, sehingga memungkinkan skrining dibagi menjadi dua. Pelatihan pusat dilakukan dalam dua minggu, untuk skrining dasar, pemeriksaan klinis, VIA, dan tes pap smear. Kursus selama 64 hari disediakan bagi sitoskriner. Perekrutan wanita dalam kegiatan ini turut bekerja sama dengan kader Family Welfare Movement (PKK) dan Indonesian Cancer Foundation lokal. Sekitar 24.000 wanita diskrining mengunakan inspeksi visual paska-pemberian asam asetat (VIA) dan dikonfirmasi dengan sitologi standar. Selain itu, sel serviks yang diambil dari human papillomavirus (HPV) juga dianalisis. Temuan abnormal dari biopsi akan didiagnosis secara histopatologik.

Wanita yang terbukti menderita kanker invasif segera dikirim ke rumah sakit untuk diterapi sesuai prosedur medik. Dari persiapan evaluasi, terlihat bahwa temuan positif yang ditemukan dengan VIA adalah 4,5%, sedangkan dengan sitologi 2,7%, dengan 2,3% merupakan lesi intraepielial skuamosa derajat rendah atau lebih buruk. Di antara sampel HPV yang diskrining dengan VIA, jumlah yang positif adalah 21,8% (Tasikmalaya), 20% (Bali), dan 17,0% (Jakarta), dan sebagian besar merupakan HPV tipe 16, 18, 51, dan 52. Data awal juga menunjukkan bahwa VIA menunjukkan hasil yang memuaskan sebagai metode skrining alternatif di masyarakat dengan area yang kurang kondusif. Efektivitas krioterapi yang dievaluasi setelah 6 bulan menunjukkan tingkat kesembuhan hingga 88,1% wanita dengan lesi intraepitelial skuamosa derajat rendah dan 74,2% pada wanita dengan lesi intraepitelial derajat tinggi

4. Dukungan Pengembangan Melalui Perluasan Konsep ‘See and Treat’

Berdasarkan pengalaman, sekarang telah dilakukan perluasan proyek skrining kanker serviks dengan metode ‘see and treat’, yang didukung dengan bantuan dana oleh Kementerian Luar Negeri Belanda, selama 4 tahun periode 2007 hingga 2010. Pemberian bantuan dana tersebut bertujuan mendukung program yang sebelumnya telah dilakukan di Tasikmalaya-Bandung, Bali, Jakarta dan kemudian mulai mencakupi 4 wilayah baru, yaitu Medan (Sumatera Utara), Surabaya (Jawa Timur), Banjarmasin (Kalimantan Selatan), dan Manado (Sulawesi Utara). Pemberian bantuan dana juga diberikan kepada dua region di Afrika Selatan. Perluasan proyek hanya mencakup tes VIA dan tatalaksana bedah krioterapi untuk prekanker yang terdeteksi.

Sementara itu, persiapan pembentukan proyek percobaan telah dimulai pada bulan Juni 2007, di 6 provinsi yang diorganisir oleh sub-direktorat kanker, Kementerian Kesehatan, dengan kolaborasi JHPIEGO, dan berhubungan dengan kelompok universitas dan anggota Komite Nasional untuk Kontrol Kanker (NCCC). Proyek skrining akan menggunakan tes VIA yang dikerjakan di Puskesmas yang difasilitasi dengan bedah krioterapi untuk kasus prekanker. Proyek juga melakukan sistem penyerahan kasus kepada rumah sakit daerah yang memiliki fasilitas terapi kanker.

5. Antisipasi Vaksinasi HPV dengan Persiapan yang Lebih Baik

Akhir-akhir ini, sehubungan dengan ketersediaan vaksin baru HPV tipe 16 dan 18 yang diperkenalkan oleh ‘Merc Sharp and Dome’ (MSD) dan ‘Glaxo-Smith Kline’ (GSK), diskusi terbatas mengenai hal ini telah dilakukan oleh wakil-wakil kelompok terkait di Indonesia. Selain itu, isu mengenai vaksin tersebut juga telah didiskusikan dalam pertemuan kecil. Untuk memberikan informasi baik ini kepada masyarakat dan untuk mengenalkan vaksin HPV agar dapat diterima dan diterapkan terhadap target populasi, maka beberapa langkah telah disusun, yaitu:

Pertama, diskusi yang cermat dilakukan dalam workshop terkait dengan program kontrol kanker serviks. Informasi teknis harus diberikan, bahwasanya HPV harus dikonfirmasi sebagai agen penyebab tunggal yang memicu perubahan degenerasi maligna pada kanker serviks dan dengan demikian, cukup memungkinkan bila derivat protein atau peptida dari HPV digunakan sebagai vaksin pencegahan. Protein/peptida serupa-virus (VLPs = Viral like proteins/peptides) HPV 16 dan 18 telah terbukti aman dan imunogenik pada percobaan klinis hewan dan manusia. Rantai akhir protein yang penting adalah L1 dan rantai awalnya adalah E6 dan E7 yang digunakan virus untuk bertransformasi, akan diambil sebagai salah satu strategi yang dilakukan dalam pembuatan vaksin HPV. Epitop imunodominan pada VLPS L1 digunakan sebagai bahan vaksin diketahui mampu memicu netralisasi antibodi untuk tipe virus utama. Oleh karena itu, GSK dan MSD lebih fokus kepada HPV tipe 16 dan 18 yang meliputi 60-70% kasus kanker serviks. Vaksin-vaksin tersebut telah memasuki uji klinis tahap III, vaksin GSK merupakan vaksin bivalen yang terdiri atas VLPs dari HPV 16 dan 18, sementara vaksin MSD merupakan vaksin kuadrivalen, yang terdiri atas VLPs dari HPV 6, HPV 11, HPV 16, dan HPV 18. HPV 6 dan HPV 11 menjadi target karena juga menyebabkan kondiloma akuminata pada genitalia eksterna hingga 90%. Efektivitas vaksin HPV 16 telah diteliti melalui percobaan kontrol secara randomisasi dengan evaluasi jangka panjang, dan dilaporkan oleh Mao et al (2006). VLP L1 pada HPV 16 memiliki proteksi tingkat tinggi untuk melawan infeksi HPV 16 yang persisten dan prekanker terkait-HPV 16 (CIN2-3) hingga 3,5 tahun setelah imunisasi. Dapat disimpulkan bahwa vaksin L1 VLP dengan target HPV 16 memungkinkan penurunan risiko kanker serviks.

Kedua, penyetujuan tipe vaksin mempertimbangkan faktor situasi perempuan indonesia, dalam hal ini mungkin terdapat varian yang unik dan berbeda dari HPV untuk masing-masing kelompok suku dan etnik. Hal ini penting dalam menyediakan vaksin yang sesuai berdasarkan tipe HPV yang relevan di masyarakat, sehingga akan turut membantu menyelesaikan masalah yang ada, khususnya dalam program kesehatan skala besar. Hal ini merupakan sesuatu yang penting.

Ketiga, kehati-hatian dalam menentukan pemilihan vaksin pencegahan pada kelompok berisiko. Vaksinasi HPV telah disetujui diberikan kepada kelompok perempuan muda yang terbukti terinfeksi HPV tipe onkogenik. Sementara itu, kelompok yang lebih tua harus mendapat vaksin secara lebih intensif, sehingga memerlukan pengadaan vaksin yang mencukupi. Vaksin yang tersedia untuk HPV 16 dan HPV 18 diperkirakan akan bekerja secara spesifik untuk mencegah kanker serviks. Vaksin kuadrivalen MSD juga menargetkan HPV 6 dan HPV 11 sehingga memberikan proteksi terhadap infeksi dan lesi jinak. Setelah itu, tentunya akan terjadi ketergantungan akan vaksin dalam mencegah distribusi luas penyakit menular seksual dan ini memungkinkan terjadinya penyalahgunaan vaksin. Sisi positif dan negatif ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan untuk menyusun pedoman tatalaksana yang lebih aplikatif.

Keempat, perlu tidaknya ekspansi program imunisasi (EPI)-WHO, sebagaimana yang telah dibentuk di Mataram (P. Lombok) untuk vaksin hepatitis B. Dasar pertimbangannya adalah untuk mendeteksi dini infeksi hepatitis B yang memiliki prevalensi tinggi di masyarakat. Proses kegiatan ini juga menjadi tanggung jawab Indonesian Commitee for Liver Investigators dan Menteri Kesehatan. Dengan adanya dukungan dari WHO, EPI telah diterapkan. Langkah percobaan vaksin HPV dapat disertakan ke dalam proyek percobaan skrining kanker serviks berikutnya. Efektivitas biaya juga menjadi salah satu hal yang mesti diperhitungkan, khususnya di negara-negara berkembang.

Terakhir, implementasi penilaian kegiatan dapat dikoordinasikan dengan melibatkan National Commitee for Cancer Control Program. Gagasan ini akan mendukung evaluasi kegiatan dengan memperkuat program edukasi dan kesadaran masyarakat untuk lebih antusias dalam melakukan pencegahan primer dan sekunder kanker serviks. Akan lebih baik lagi bila dilakukan pertemuan atau workshop internasional untuk pengambilan keputusan terhadap masalah penting ini. Secara khusus, rencana strategi kontrol kanker serviks – sebagai kanker yang unik dengan definisi fase pre-kanker yang jelas dan telah dapat dideteksi dan diterapi untuk mencegah progresivitas ke arah kanker yang invasif – harus berdasarkan rekomendasi global yang telah disetujui. Dengan penuh harap, sekaranglah saatnya mewujudkan komitmen global untuk mencegah kanker servks, melalui teknik skrining dengan pendekatan baru dan vaksinasi HPV dengan vaksin yang tersedia.

DAFTAR PUSTAKA

1. Planning appropriate cervical cancer control program. PATH, 1997.

2. Alliance for Cervical Cancer Prevention (ACCP). Planing and implementing cervical cancer prevention and control programs. A manual for managers. Seattle, ACCP, 2004.

3. Kitchener HC, Symonds P. Commentary: Detection of cervical intraepithelial neoplasma in developing countries. The Lancet 1999;353:9156-8.

4. Goldie SJ, Gafkin L, Goldhaber-Fiebert JD, Gordillo-Tobar A, Levin C, Mahe C, et al. Cost-effectiveness of cervical cancer screening in five developing countries. N Eng J Med 2005;353:2158-68.

5. Lowy Dr, Schiller JT. Prophylactic human papillomavirus vaccines. J Clin Invest 2006;116:1167-73.

6. Mao C, Koustsky LA, Ault KA, Wheeler CM, Brown DR, Wiley DJ, et al. Efficacy of human papillomavorus-16 vaccine to prevent cervical intraepithelial neoplasia. A randomized controlled trial. Obs Gyn 2006;107:18-26.

7. Pichichero MI. Prevention of cervical cancer through vaccnation of adolescents. Clin Pediatrics 2006;45:393-8.
[Baca pendahuluannya di sini...]

VISUM et REPERTUM

Pengertian
Menurut bahasa: berasal dari kata latin yaitu visum (sesuatu yang dilihat) dan repertum (melaporkan).
Menurut istilah: adalah laporan tertulis yang dibuat oleh dokter berdasarkan sumpah jabatannya terhadap apa yang dilihat dan diperiksa berdasarkan keilmuannya.
Menurut lembar negara 350 tahun 1973: Suatu laporan medik forensik oleh dokter atas dasar sumpah jabatan terhadap pemeriksaan barang bukti medis (hidup/mati) atau barang bukti lain, biologis (rambut, sperma, darah), non-biologis (peluru, selongsong) atas permintaan tertulis oleh penyidik ditujukan untuk peradilan.

Maksud dan Tujuan Pembuatan Visum et Repertum
Maksud pembuatan VeR adalah sebagai salah satu barang bukti (corpus delicti) yang sah di pengadilan karena barang buktinya sendiri telah berubah pada saat persidangan berlangsung. Jadi VeR merupakan barang bukti yang sah karena termasuk surat sah sesuai dengan KUHP pasal 184.

Ada 5 barang bukti yang sah menurut KUHP pasal 184, yaitu:
1. Keterangan saksi
2. Keterangan ahli
3. Keterangan terdakwa
4. Surat-surat
5. Petunjuk

Ada 3 tujuan pembuatan VeR, yaitu:
1. Memberikan kenyataan (barang bukti) pada hakim
2. Menyimpulkan berdasarkan hubungan sebab akibat
3. Memungkinkan hakim memanggil dokter ahli lainnya untuk membuat kesimpulan VeR yang lebih baru

Pembagian Visum et Repertum
Ada 3 jenis visum et repertum, yaitu:
1. VeR hidup
VeR hidup dibagi lagi menjadi 3, yaitu:
a. VeR definitif, yaitu VeR yang dibuat seketika, dimana korban tidak memerlukan perawatan dan pemeriksaan lanjutan sehingga tidak menghalangi pekerjaan korban. Kualifikasi luka yang ditulis pada bagian kesimpulan yaitu luka derajat I atau luka golongan C.
b. VeR sementara, yaitu VeR yang dibuat untuk sementara waktu, karena korban memerlukan perawatan dan pemeriksaan lanjutan sehingga menghalangi pekerjaan korban. Kualifikasi luka tidak ditentukan dan tidak ditulis pada kesimpulan.
Ada 5 manfaat dibuatnya VeR sementara, yaitu
- Menentukan apakah ada tindak pidana atau tidak
- Mengarahkan penyelidikan
- Berpengaruh terhadap putusan untuk melakukan penahanan sementara terhadap terdakwa
- Menentukan tuntutan jaksa
- Medical record
c. VeR lanjutan, yaitu VeR yang dibuat dimana luka korban telah dinyatakan sembuh atau pindah rumah sakit atau pindah dokter atau pulang paksa. Bila korban meninggal, maka dokter membuat VeR jenazah. Dokter menulis kualifikasi luka pada bagian kesimpulan VeR.

2. VeRjenazah, yaitu VeR yang dibuat terhadap korban yang meninggal. Tujuan pembuatan VeR ini adalah untuk menentukan sebab, cara, dan mekanisme kematian.

3. Ekspertise, yaitu VeR khusus yang melaporkan keadaan benda atau bagian tubuh korban, misalnya darah, mani, liur, jaringan tubuh, tulang, rambut, dan lain-lain. Ada sebagian pihak yang menyatakan bahwa ekspertise bukan merupakan VeR.

Susunan Visum et Repertum
Ada 5 bagian visum et repertum, yaitu:
1. Pembukaan
Ditulis ‘pro justicia’ yang berarti demi keadilan dan ditulis di kiri atas sebagai pengganti materai.
2. Pendahuluan
Bagian pendahuluan berisi:
- Identitas tempat pembuatan visum berdasarkan surat permohonan mengenai jam, tanggal, dan tempat
- Pernyataan dokter, identitas dokter
- Identitas peminta visum
- Wilayah
- Identitas korban
- Identitas tempat perkara
3. Pemberitaan
Pemberitaan memuat hasil pemeriksaan, berupa:
- Apa yang dilihat, yang ditemukan sepanjang pengetahuan kedokteran
- Hasil konsultasi dengan teman sejawat lain
- Untuk ahli bedah yang mengoperasi ? dimintai keterangan apa yang diperoleh. Jika diopname ? tulis diopname, jika pulang ? tulis pulang
- Tidak dibenarkan menulis dengan kata-kata latin
- Tidak dibenarkan menulis dengan angka, harus dengan huruf untuk mencegah pemalsuan.
- Tidak dibenarkan menulis diagnosis, melainkan hanya menulis ciri-ciri, sifat, dan keadaan luka.
4. Kesimpulan
Bagian kesimpulan memuat pendapat pribadi dokter tentang hubungan sebab akibat antara apa yang dilihat dan ditemukan dokter dengan penyebabnya. Misalnya jenis luka, kualifikasi luka, atau bila korban mati maka dokter menulis sebab kematiannya.
5. Penutup
Bagian penutup memuat sumpah atau janji, tanda tangan, dan nama terang dokter yang membuat. Sumpah atau janji dokter dibuat sesuai dengan sumpah jabatan atau pekerjaan dokter.

Kualifikasi Luka
Ada 3 kualifikasi luka pada korban hidup, yaitu:
1. Luka ringan / luka derajat I/ luka golongan C
Luka derajat I adalah apabila luka tersebut tidak menimbulkan penyakit atau tidak menghalangi pekerjaan korban. Hukuman bagi pelakunya menurut KUHP pasal 352 ayat 1.
2. Luka sedang / luka derajat II / luka golongan B
Luka derajat II adalah apabila luka tersebut menyebabkan penyakit atau menghalangi pekerjaan korban untuk sementara waktu. Hukuman bagi pelakunya menurut KUHP pasal 351 ayat 1.
3. Luka berat / luka derajat III / luka golongan A
Luka derajat III menurut KUHP pasal 90 ada 6, yaitu:
- Luka atau penyakit yang tidak dapat sembuh atau membawa bahaya maut
- Luka atau penyakit yang menghalangi pekerjaan korban selamanya
- Hilangnya salah satu panca indra korban
- Cacat besar
- Terganggunya akan selama > 4 minggu
- Gugur atau matinya janin dalam kandungan ibu

Prosedur Permintaan, Penerimaan, dan Penyerahan Visum et Repertum
Pihak yang berhak meminta Ver:
1. Penyidik, sesuai dengan pasal I ayat 1, yaitu pihak kepolisian yang diangkat negara untuk menjalankan undang-undang.
2. Di wilayah sendiri, kecuali ada permintaan dari Pemda Tk II.
3. Tidak dibenarkan meminta visum pada perkara yang telah lewat.
4. Pada mayat harus diberi label, sesuai KUHP 133 ayat C.

Syarat pembuat:
- Harus seorang dokter (dokter gigi hanya terbatas pada gigi dan mulut)
- Di wilayah sendiri
- Memiliki SIP
- Kesehatan baik

Ada 8 hal yang harus diperhatikan saat pihak berwenang meminta dokter untuk membuat VeR korban hidup, yaitu:
1. Harus tertulis, tidak boleh secara lisan.
2. Langsung menyerahkannya kepada dokter, tidak boleh dititip melalui korban atau keluarganya. Juga tidak boleh melalui jasa pos.
3. Bukan kejadian yang sudah lewat sebab termasuk rahasia jabatan dokter.
4. Ada alasan mengapa korban dibawa kepada dokter.
5. Ada identitas korban.
6. Ada identitas pemintanya.
7. Mencantumkan tanggal permintaan.
8. Korban diantar oleh polisi atau jaksa.

Ada 8 hal yang harus diperhatikan saat pihak berwenang meminta dokter untuk membuat VeR jenazah, yaitu:
1. Harus tertulis, tidak boleh secara lisan.
2. Harus sedini mungkin.
3. Tidak bisa permintaannya hanya untuk pemeriksaan luar.
4. Ada keterangan terjadinya kejahatan.
5. Memberikan label dan segel pada salah satu ibu jari kaki.
6. Ada identitas pemintanya.
7. Mencantumkan tanggal permintaan.
8. Korban diantar oleh polisi.

Saat menerima permintaan membuat VeR, dokter harus mencatat tanggal dan jam, penerimaan surat permintaan, dan mencatat nama petugas yang mengantar korban. Batas waktu bagi dokter untuk menyerahkan hasil VeR kepada penyidik selama 20 hari. Bila belum selesai, batas waktunya menjadi 40 hari dan atas persetujuan penuntut umum.

Lampiran visum
- Fotografi forensik
- Identitas, kelainan-kelainan pada gambar tersebut
- Penjelasan ? istilah kedokteran
- Hasil pemeriksaan lab forensik (toksikologi, patologi, sitologi, mikrobiologi)
[Baca pendahuluannya di sini...]

Kamis, 22 Oktober 2009

PERAWATAN METODE KANGURU (PMK) PADA BAYI BERAT LAHIR RENDAH

Setiap tahun, diperkirakan sekitar 20 juta bayi lahir dengan berat lahir rendah (BBLR). Sebagian besar penyebab BBLR di negara berkembang adalah gangguan pertumbuhan intrauterin. Intervensi yang efektif masih sangat terbatas akibat terbatasnya jumlah fasilitas dan tenaga yang terampil. Akibatnya angka morbiditas dan mortalitas bayi BBLR menjadi tinggi.

Perawatan dengan metode kanguru (PMK) merupakan salah satu cara yang sederhana dan terbukti efektif untuk memenuhi sebagian besar kebutuhan dasar bayi, antara lain kehangatan, ASI, perlindungan infeksi, dan stimulasi.

PMK adalah perawatan untuk bayi prematur dengan melakukan kontak langsung antara kulit bayi dengan kulit ibu (skin-to-skin contact).

Hal yang penting dalam upaya melakukan PMK adalah:
- Kontak badan langsung antara ibu dan bayi secara berkelanjutan.
- Pemberian ASI eksklusif.
- Dimulai dilakukan di rumah sakit dan dilanjutkan di rumah.
- Bayi kecil dapat dipulangkan lebih dini.
- Setelah di rumah, ibu perlu dukungan dan tindak lanjut yang memadai.
- Metode ini merupakan metode yang sederhana dan manusiawi, namun efektif untuk menghindari bayi prematur

Dari banyak penelitian mengenai PMK, disimpulkan bahwa:
- PMK minimal setara dengan perawat konvensional menggunakan inkubator dalam hal keamanan dan perlindungan terhadap suhu bayi.
- PMK memfasilitasi pemberian ASI, terutama pada kasus dengan morbiditas serius.
- PMK lebih manusiawi dan meningkatkan kontak psikis antara ibu dan bayinya.
- PMK dapat diterapkan dimana saja.

PENELITIAN PMK:
- Morbiditas dan Mortalitas: Setelah bayi stabil, tidak ada perbedaan pada angka kelangsungan hidup antara PMK dengan perawatan konvensional yang baik.
- Pemberian ASI: Semakin dini kontak langsung antara ibu dan bayi dilakukan, maka semakin besar pengaruhnya terhadap pemberian ASI.
- Pertumbuhan: Secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara pertumbuhan bayi prematur dengan PMK dibandingkan dengan kelompok kontrol.
- Pengaturan Suhu: PMK dapat memberikan perlindungan bayi dari risiko terjadinya hipotermia.

Persyaratan:
Lokasi:
- Rumah Bersalin
- Rumah Sakit Rujukan
Petugas: Dokter dan perawat harus memiliki pelatihan dasar tentang pemberian ASI dan pelatihan yang memadai di semua aspek PMK

Fasilitas, Peralatan, dan Perlengkapan
- Kebutuhan Ibu (ruangan, tempat tidur, keperluan mandi)
- Pakaian Untuk Ibu (Semua bahan yang dapat memberikan kenyamanan dan hangat)
- Support Binder (ikatan/pembalut penahan bayi agar dapat terus berada di posisi PMK
- Kebutuhan Bayi dan pakaian bayi
- Peralatan dan Keperluan Lain (termometer, timbangan, alat resusitasi, obat-obatan)
- Pencatatan keadaan ibu an bayi setiap hari.

Kapan PMK dimulai?
Masa untuk memulai PMK bergantung pada kondisi ibu dan bayi.
IBU:
- Kemauan ibu untuk melakukan PMK.
- Tersedia waktu yang penuh untuk memberikan perawatan.
- Kesehatan ibu harus stabil.
- Ibu dianjurkan menetap di RS sampai bayi siap dipulangkan.
- Dukungan keluarga.
- Dukungan masyarakat.
BAYI:
- Bayi dengan keadaan sakit berat harus disembuhkan terlebih dahulu
- Keadaan stabil, bernapas secara alami tanpa bantuan oksigen.
- Kemampuan minum dan menelan bukan syarat utama

POSISI KANGURU:
- Bayi diposisikan di antara payudara dalam posisi tegak, dada bayi menempel ke dada ibu.
- Bayi perlu dijauhkan dari kontak kulit langsung hanya pada saat: mengganti popok, perawatan tali pusat, dan pemeriksaan klinis.
- Ibu tidur bersama bayinya dalam posisi berbaring atau setengah tertelentang dalam posisi kanguru.
- Kontak kulit langsung dimulai secara bertahap, perlahan-lahan dari perawatan konvensional ke PMK yang terus menerus.
- Anggota keluarga yang lain dapat menggantikan ibu bila diperlukan (GAMBAR)
Pengawasan Keadaan Bayi:
- Suhu : pengukuran suhu aksila dilakukan setiap 6 jam
- Frekuensi napas dan kondisi kesehatan umum
- Tanda-tanda bahaya

Pemberian minum bayi
- Pemberian minum dilakukan segera bila kondisi memungkinkan, umumnya saat bayi mulai mendapat PMK.
- Bayi < 30 minggu umumnya perlu diberikan minum melalui pipa NGT. - Bayi 30- 32 minggu dapat diberikan minum melalui gelas kecil. - Bayi > 32 minggu sudah dapat menyusu pada ibu.

Pemulangan dan perawatan di rumah
- Kesehatan bayi secara keseluruhan dalam kondisi baik.
- Bayi minum dengan baik, menyusu eksklusif.
- Berat bayi selalu bertambah (sekurang-kurangnya 15 gram/Kg/hari selama minimal 3 hari berturut-turut)
- Suhu stabil dalam posisi PMK.
- Ibu mampu merawat bayi dan dapat datang secara teratur untuk melakukan follow up

PMK di rumah:
- Dua kali kunjungan follow up per minggu sampai dengan 37 minggu usia pascamenstruasi.
- Satu kali kunjungan follow up per minggu setelah 37 minggu.

[Baca pendahuluannya di sini...]

Senin, 19 Oktober 2009

Ketoasidosis Diabetik Pada Anak

1. Pendahuluan

Ketoasidosis diabetik adalah kondisi medis darurat yang dapat mengancam jiwa bila tidak ditangani secara tepat. Ketoasidosis diabetik disebabkan oleh penurunan kadar insulin efektif di sirkulasi yang terkait dengan peningkatan sejumlah hormon seperti glukagon, katekolamin, kortisol, dan growth hormone. Ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada anak dengan diabetes mellitus tipe 1 (IDDM). Mortalitas terutama berhubungan dengan edema serebri yang terjadi sekitar 57% - 87% dari seluruh kematian akibat KAD.1

Peningkatan lipolisis, dengan produksi badan keton (?-hidroksibutirat dan asetoasetat) akan menyebabkan ketonemia dan asidosis metabolik. Hiperglikemia dan asidosis akan menghasilkan diuresis osmotik, dehidrasi, dan kehilangan elektrolit. Secara klinis, ketoasidosis terbagi ke dalam tiga kriteria, yaitu ringan, sedang, dan berat, yang dibedakan menurut pH serum.2

Risiko KAD pada IDDM adalah 1 – 10% per pasien per tahun. Risiko meningkat pada anak dengan kontrol metabolik yang jelek atau sebelumnya pernah mengalami episode KAD, anak perempuan peripubertal dan remaja, anak dengan gangguan psikiatri (termasuk gangguan makan), dan kondisi keluarga yang sulit (termasuk status sosial ekonomi rendah dan masalah asuransi kesehatan). Pengobatan dengan insulin yang tidak teratur juga dapat memicu terjadinya KAD.3

Anak dengan tanda-tanda KAD berat (durasi gejala yang lama, gangguan sirkulasi, atau penurunan derajat kesadaran) atau adanya peningkatan risiko edema serebri (termasuk usia < 5 tahun dan onset baru) harus dipertimbangkan dirawat di unit perawatan intensif anak. Terdapat lima penanganan prehospital yang penting bagi pasien KAD, yaitu: penyediaan oksigen dan pemantauan jalan napas, monitoring, pemberian cairan isotonik intravena dan balance elektrolit, tes glukosa, dan pemeriksaan status mental (termasuk derajat kesadaran).2,3

Mengingat masih sedikitnya pemahaman mengenai ketoasidosis diabetik dan prosedur atau konsensus yang terus berkembang dalam penatalaksanaan ketoasidosis diabetik. Maka, perlu adanya pembahasan mengenai bagaimana metode tatalaksana terkini dalam menanganai ketoasidosis diabetik pada anak.

2.1 Pengertian

Ketoasidosis Diabetik Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah kondisi medis darurat yang dapat mengancam jiwa bila tidak ditangani secara tepat. Ketoasidosis diabetik disebabkan oleh penurunan kadar insulin efektif di sirkulasi yang terkait dengan peningkatan sejumlah hormon seperti glukagon, katekolamin, kortisol, dan growth hormone. Hal ini akan memicu peningkatan produksi glukosa oleh hepar dan ginjal disertai penurunan penggunaan glukosa perifer, sehingga mengakibatkan keadaan hiperglikemia dan hiperosmolar. Peningkatan lipolisis, dengan produksi badan keton (?-hidroksibutirat dan asetoasetat) akan menyebabkan ketonemia dan asidosis metabolik. Hiperglikemia dan asidosis akan menghasilkan diuresis osmotik, dehidrasi, dan kehilangan elektrolit. Kriteria biokimia untuk diagnosis KAD mencakup hiperglikemia (gula darah > 11 mMol/L / 200 mg/dL) dengan pH vena < 7,3 dan atau bikarbonat < 15 mMol/L). Keadaan ini juga berkaitan dengan glikosuria, ketonuria, dan ketonemia.1,2

Ketoasidosis diabetik pada umumnya dikategorisasi berdasarkan derajat keparahan asidosis, dari ringan (pH < 7,30; bikarbonat , 15 mmol/L), moderat (pH < 7,20; bikarbonat < 10) dan berat (pH < 7,10; bikarbonat < 5,4).4

2.2 Epidemiologi dan Faktor Risiko

Kejadian ketoasidosis diabetik pada anak meliputi wilayah geografik yang luas dan bervariasi bergantung onset diabetes dan sebanding dengan insidensi IDDM di suatu wilayah. Frekuensi di Eropa dan Amerika Utara adalah 15% - 16%. Di Kanada dan Eropa, angka kejadian KAD yang telah dihospitalisasi dan jumlah pasien baru dengan IDDM telah diteliti, yaitu sebanyak 10 dari 100.000 anak.5

Onset KAD pada IDDM lebih sering terjadi pada anak yang lebih muda (berusia < 4 tahun), memiliki orang tua dengan IDDM, atau mereka yang berasal dari keluarga dengan status sosial ekonomi rendah. Pemberian dosis tinggi obat-obatan seperti glukokortikoid, antipsikotik atipik, diazoksida, dan sejumlah immunosuppresan dilaporkan mampu menimbulkan KAD pada individu yang sebelumnya tidak mengalami IDDM.6

Risiko KAD pada IDDM adalah 1 – 10% per pasien per tahun. Risiko meningkat pada anak dengan kontrol metabolik yang jelek atau sebelumnya pernah mengalami episode KAD, anak perempuan peripubertal dan remaja, anak dengan gangguan psikiatri (termasuk gangguan makan), dan kondisi keluarga yang sulit (termasuk status sosial ekonomi rendah dan masalah asuransi kesehatan). Pengobatan dengan insulin yang tidak teratur juga dapat memicu terjadinya KAD.3

Anak yang mendapat terapi insulin secara teratur dan terkontrol jarang mengalami episode KAD. Sekitar 75% episode KAD berkaitan dengan kelalaian pemberian insulin atau pemberian yang salah. Angka mortalitas KAD di sejumlah negara relatif konstan, yaitu 0,15% di Amerika Serikat, 0,18% di Kanada, 0,31% di Inggris. Di tempat dengan fasilitas medik yang kurang memadai, risiko kematian KAD relatif tinggi, dan sebagian penderita mungkin meninggal sebelum mendapatkan terapi.2

Edema serebri terjadi pada 57% - 87% dari seluruh kematian akibat KAD. Insidensi edema serebri relatif konstan pada sejumlah negara yang diteliti: Amerika Serikat 0,87%, Kanada 0,46%, Inggris 0,68%. Dari penderita yang bertahan, sekitar 10-26% mengalami morbiditas yang signifikan. Meski demikian, sejumlah individu ternyata tidak mengalami peningkatan morbiditas dan mortalitas bermakna setelah kejadian KAD dan edema serebri.1

Selain edema serebri, penyebab peningkatan angka morbiditas dan mortalitas pada KAD mencakup hipoglikemia, hipokalemia, hiperkalemia, komplikasi susunan saraf pusat, hematom, trombosis, sepsis, infeksi, pneumonia aspirasi, edem pulmonar, RDS, dan emfisema. Beberapa sekuele lanjut yang berkaitan dengan edema serebri dan komplikasi SSP mencakup insufisiensi hipotalamopituitary, defisiensi growth hormone, dan defisiensi thyroid-stimulating hormone.2

2.3 Patofisiologi

Interaksi berbagai faktor penyebab defisiensi insulin merupakan kejadian awal sebagai lanjutan dari kegagalan sel-? secara progresif. Keadaan tersebut dapat berupa penurunan kadar atau penurunan efektivitas kerja insulin akibat stres fisiologik seperti sepsis dan peningkatan kadar hormon yang kerjanya berlawanan dengan insulin. Secara bersamaan, perubahan keseimbangan hormonal tersebut akan meningkatkan produksi glukosa, baik dari glikogenolisis maupun glukoneogenesis, sementara penggunaan glukosa menurun. Secara langsung, keadaan ini akan menyebabkan hiperglikemia (kadar glukosa > 11 mmol/L atau > 200 mg/dL), diuresis osmotik, kehilangan elektrolit, dehidrasi, penurunan laju filtrasi glomerulus, dan hiperosmolaritas.7

Secara bersamaan, lipolisis akan meningkatkan kadar asam lemak bebas, oksidasi akan turut memfasilitasi glukoneogenesis dan membentuk asam asetoasetat dan hidroksibutirat (keton) secara berlebihan, sehingga menyebabkan terjadinya asidosis metabolik (pH < 7,3). Keadaan ini juga diperparah oleh semakin meningkatnya asidosis laktat akibat perfusi jaringan yang buruk. Dehidrasi yang berlangsung progresif, hiperosmolar, asidosis, dan gangguan elektrolit akan semakin memperberat ketidak-seimbangan hormonal dan menyebabkan keadaan ini berlanjut membentuk semacam siklus. Akibatnya, dekompensasi metabolik akan berjalan progresif. Manifestasi klinis berupa poliuria, polidipsia, dehidrasi, respirasi yang panjang dan dalam, akan menurunkan nilai pCO2 dan buffer asidosis, menyebabkan keadaan berlanjut menjadi koma. Derajat keparahan KAD lebih terkait dengan derajat asidosis yang terjadi: ringan (pH 7,2 – 7,3), moderat (pH 7,1 – 7,2), dan berat (pH < 7,1).7

Meskipun dapat terjadi penurunan kadar kalium, adanya hiperkalemia biasanya didapatkan pada pasien dengan KAD yang mendapat resusitasi cairan. Hiperkalemia serum terjadi akibat pergeseran distribusi ion kalium dari intrasel ke ekstrasel karena adanya asidosis akibat defisiensi insulin dan penurunan sekresi tubular renal. Terjadinya penurunan kadar fosfat dan magnesium serum juga akibat pergeseran ion. Hiponatremia terjadi akibat efek dilusi akibat osmolaritas serum yang tinggi. Kadar natrium dapat diukur dengan menambahkan kadar natrium sebanyak 1,6 mEq/L untuk setiap kenaikan kadar glukosa 100 mg/dL. Peningkatan osmolaritas serum akibat hiperglikemia juga akan menyebabkan peningkatan osmolaritas intraselular di otak. Koreksi hiperglikemia serum yang dilakukan secara cepat dapat memperlebar gradien osmolaritas serum dan intraserebral. Cairan bebas kemudian akan memasuki jaringan otak dan menyebabkan edema serebri beserta peningkatan risiko herniasi. Oleh sebab itu, resusitasi cairan dan koreksi hiperkalemia harus dilakukan secara bertahap dengan monitoring ketat.3

Edema serebri pada Ketoasidosis Diabetik

Edema serebri paling sering terjadi pada 4 – 12 jam setelah terapi diberikan, namun dapat pula terjadi sebelum terapi dilakukan, dan pada beberapa kasus dapat terjadi kapan pun selama terapi diberikan (tidak terikat waktu). Gejala dan tanda edema serebri cukup bervariasi dan meliputi keluhan nyeri kepala, penurunan bertahap atau memburuknya derajat kesadaran, nadi yang melambat, dan tekanan darah yang meningkat.2,4

Pada penelitian in vitro pada hewan coba dan manusia, terjadinya edema serebri dipicu oleh penyebab lain (misalnya trauma dan stroke) menunjukkan bahwa mekanisme etiopatologik edema serebri pada KAD cukup kompleks. Sejumlah mekanisme telah dianalisis, termasuk peranan iskemia/hipoksia serebral dan peningkatan berbagai mediator inflamasi, yang akan meningkatkan aliran darah ke otak serta mengganggu transpor ion dan air melalui membran sel. Adanya osmolit organik intraselular (mioinositol dan taurin) dan ketidakseimbangan osmotik selular juga merupakan faktor yang penting. Pada pemeriksaan imaging anak dengan KAD menggunakan ultrasonografi, CT Scan, dan MRI, menunjukkan berbagai derajat edema serebri yang terjadi meskipun tidak terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial yang signifikan.2

2.4 Diagnosis

Kriteria biokimia untuk diagnosis KAD mencakup hiperglikemia (gula darah > 11 mmol/L / 200 mg/dL) dengan pH vena < 7,3 dan atau bikarbonat < 15 mmol/L). Keadaan ini juga berkaitan dengan glikosuria, ketonuria, dan ketonemia.2 Beberapa pemeriksaan laboratoris dapat diindikasikan pada pasien KAD, yaitu:1,5

• Gula darah
- Analisis gula darah diperlukan untuk monitoring perubahan kadar gula darah selama terapi dilakukan, sekurang-kurangnya satu kali setiap pemberian terapi.
- Pemeriksaan dilakukan setidaknya setiap jam apabila kadar glukosa turun secara progresif atau bila diberikan infus insulin.

• Gas darah
- Pada umumnya, sampel diambil dari darah arteri, namun pengambilan darah dari vena dan kapiler pada anak dapat dilakukan untuk monitoring asidosis karena lebih mudah dalam pengambilan dan lebih sedikit menimbulkan trauma pada anak.
- Derajat keparahan ketoasidosis diabetik didefinisikan sebagai berikut: Ringan (pH < 7,30; bikarbonat, 15 mmol/L), moderat (pH < 7,20; bikarbonat < 10 mmol/L) dan berat (pH < 7,10; bikarbonat < 5,4 mmol/L).

• Kalium
- Pada pemeriksaan awal, kadar kalium dapat normal atau meningkat, meskipun kadar kalium total mengalami penurunan. Hal ini terjadi akibat adanya kebocoran kalium intraselular. Insulin akan memfasilitasi kalium kembali ke intraselular, dan kadar kalium mungkin menurun secara cepat selama terapi diberikan.
- Pemeriksaan secara berkala setiap 1-2 jam dilakukan bersamaan dengan monitoring EKG, terutama pada jam-jam pertama terapi.

• Natrium
- Kadar natrium pada umumnya menurun akibat efek dilusi hiperglikemia
- Kadar natrium yang sebenarnya dapat dikalkulasi dengan menambahkan 1,6 mEq/L natrium untuk setiap kenaikan 100 mg/dL glukosa (1 mmol/L natrium untuk setiap 3 mmol/L glukosa).
- Kadar natrium umumnya meningkat selama terapi
- Apabila kadar natrium tidak meningkat selama terapi, kemungkinan berhubungan dengan peningkatan risiko edema serebri.

• Ureum dan Kreatinin: Peningkatan kadar kreatinin seringkali dipengaruhi oleh senyawa keton, sehingga memberikan kenaikan palsu. Kadar ureum mungkin dapat memberikan ukuran dehidrasi yang terjadi pada KAD.

• Kadar keton: Pengukuran kadar keton kapiler digunakan sebagai tolok ukur ketoasidosis, dimana nilainya akan selalu meningkat pada KAD (> 2 mmol/L). Terdapat dua pengukuran yang dilakukan untuk menilai perbaikan KAD, yaitu nilai pH >7,3 dan kadar keton kapiler < 1 mmol/L.

• Hemoglobin terglikosilasi (HbA1c): Peningkatan HbA1c menentukan diagnosis diabetes, terutama pada pasien yang tidak mendapat penanganan sesuai standar. • Pemeriksaan darah rutin: Peningkatan kadar leukosit sering ditemukan, meskipun tidak terdapat infeksi.

• Urinalisis: Pemeriksaan urin dilakukan untuk menilai kadar glukosa dan badan keton per 24 jam, terutama bila pemeriksaan kadar keton kapiler tidak dilakukan.

• Insulin: Pemeriksaan ini khusus dilakukan pada anak dengan KAD rekuren, dimana rendahnya kadar insulin dapat terkonfirmasi. Perlu diperhatikan adanya senyawa analog insulin yang dapat memberikan nilai palsu dalam hasil pemeriksaan.

• Osmolaritas serum: Osmolaritas serum umumnya meningkat.

Pada pemeriksaan imaging (radiologis) dapat dilakukan terhadap pasien KAD, yaitu:5
• CT scan kepala dilakukan bila terjadi koma atau keadaan yang menuju ke arah koma, selain sebagai ukuran dalam menangani edema serebri.
• Pemeriksaan radiografi thoraks dilakukan apabila terdapat indikasi klinis.

Pemeriksaan lainnya yang juga perlu dilakukan terhadap pasien KAD, yaitu:5
• EKG cukup berguna untuk menentukan status kalium. Perubahan karakter EKG akan terjadi apabila status kalium terlalu ekstrem.
• Perubahan karakter hipokalemia yang terepresentasi pada EKG, yaitu:
- Interval QT memanjang
- Depresi segmen ST
- Gelombang T mendatar atau difasik
- Gelombang U
- Interval PR memanjang
- Blok SA

• Hiperkalemia dapat terjadi akibat overkoreksi kehilangan kalium, dengan perubahan EKG sebagai berikut:
- Kompleks QRS melebar
- Gelombang T tinggi
- Interval PR memanjang
- Gelombang P hilang
- Kompleks QRS difasik
- Asistole

• Penilaian rutin derajat kesadaran:
- Menentukan derajat kesadaran per jam sampai dengan 12 jam, terutama pada anak yang masih muda dan mengalami diabetes untuk pertama kali. Penilaian menggunakan GCS direkomendasikan untuk penentuan derajat kesadaran.
- Skor maksimum normal GCS adalah 15. Skor 12 atau kurang menunjukkan gangguan kesadaran yang bermakna. Skor yang terus menurun menunjukkan edema serebri yang semakin berat.

Beberapa prosedur yang dilakukan terhadap pasien KAD, yaitu:3
• Dilakukan pemasangan kateterisasi intravena yang besar untuk keperluan cairan, infus insulin, drip, dan lain-lain.
• Kateterisasi arteri dilakukan pada kondisi: status mental yang buruk, adanya tanda syok berat, dan adanya tanda asidosis berat.

2.5 Tatalaksana

Anak dengan ketosis dan hiperglikemia tanpa disertai gejala muntah dan dehidrasi berat dapat diterapi di rumah atau pusat layanan kesehatan terdekat. Namun, untuk mendapatkan perawatan yang baik, perlu dilakukan reevaluasi berkala dan pemeriksaan sebaiknya dilakukan oleh dokter ahli. Dokter anak yang telah mendapat pelatihan penanganan KAD harus terlibat langsung. Anak juga dapat dimonitoring dan diterapi sesuai standar baku, serta dilakukan berbagai pemeriksaan laboratoris secara berkala untuk mengevaluasi sejumlah parameter biokimia.8 Anak dengan tanda-tanda KAD berat (durasi gejala yang lama, gangguan sirkulasi, atau penurunan derajat kesadaran) atau adanya peningkatan risiko edema serebri (termasuk usia < 5 tahun dan onset baru) harus dipertimbangkan dirawat di unit perawatan intensif anak. Terdapat lima penanganan prehospital yang penting bagi pasien KAD, yaitu: penyediaan oksigen dan pemantauan jalan napas, monitoring, pemberian cairan isotonik intravena, tes glukosa, dan pemeriksaan status mental.8 Penanganan pasien anak dengan KAD, antara lain:3
• Prinsip utama penanganan KAD sesuai dengan resusitasi emergensi dasar, yaitu airway, breathing, dan circulation.
• Sebagai tambahan, pasien dengan KAD harus diberikan diet nothing by mouth, suplementasi oksigen, dan apabila terjadi kemungkinan infeksi, diberikan antibiotik. • Tujuan utama terapi pada satu jam pertama resusitasi cairan dan pemeriksaan laboratorium adalah:
- Cairan: pemberian NaCl isotonis bolus, 20 mL/Kg sampai dengan 1 jam atau kurang.
- Glukosa : Tidak diberikan, kecuali bila penurunan glukosa serum mencapai 250 – 300 mg/dL selama rehidrasi.
• Tujuan berikutnya dilakukan pada jam-jam selanjutnya setelah hiperglikemia, asidosis dan ketosis teratasi, yaitu monitoring, pemeriksaan laboratorium ulang, stabilisasi glukosa darah pada level 150 - 250 mg/dL.

Monitoring
Perlu dilakukan observasi dan pencatatan per jam mengenai keadaan pasien, mencakup medikasi oral dan intravena, cairan, hasil laboratorium, selama periode penanganan. Monitoring yang dilakukan harus mencakup:2
• Pengukuran nadi, respirasi, dan tekanan darah per jam.
• Pengukuran input dan output cairan setiap jam (atau lebih sering). Apabila terdapat gangguan derajat kesadaran, maka pemasangan kateterisasi urine perlu dilakukan.
• Pada KAD berat, monitoring EKG akan membantu menggambarkan profil hiperkalemia atau hipokalemia melalui ekspresi gelombang T.
• Glukosa darah kapiler harus dimonitor per jam (dapat dibandingkan dengan glukosa darah vena, mengingat metode kapiler dapat menjadi inakurat pada kasus asidosis atau perfusi perifer yang buruk)
• Tes laboratorium: elektrolit, ureum, hematokrit, glukosa darah, dan gas darah harus diulangi setiap 2 – 4 jam. Pada kasus berat, pemeriksaan elektrolit dilakukan per jam. Peningkatan leukosit menunjukkan adanya stress fisiologik dan bukan merupakan tanda infeksi.
• Observasi status neurologik dilakukan per jam atau lebih sering, untuk menentukan adanya tanda dan gejala edema serebri: Nyeri kepala, detak jantung melambat, muntah berulang, peningkatan tekanan darah, penurunan saturasi oksigen, perubahan status neurologik (gelisah, iritable, mengantuk, atau lemah). Pemeriksaan spesifik neurologik dapat ditemukan kelumpuhan saraf kranialis atau penurunan respons pupil.

Cairan dan Natrium
Osmolalitas cairan yang tinggi di dalam kompartemen ekstraselular akan menyebabkan pergeseran gradien cairan dari intrasel ke ekstrasel. Beberapa penelitian terhadap pasien dengan IDDM yang mendapat terapi insulin menunjukkan defisit cairan sebanyak kurang lebih 5L bersamaan dengan kehilangan 20% garam natrium dan kalium. Pada saat yang sama, cairan ekstraselular mengalami penyusutan. Keadaan syok dengan kegagalan hemodinamik jarang terjadi pada KAD. Pengukuran kadar natrium serum bukan merupakan ukuran derajat penyusutan cairan ekstrasel terkait efek dilusi cairan. Osmolalitas efektif (2[Na+ K+] + glukosa) pada saat yang sama berkisar antara 300 – 350 mOsm/L. Peningkatan ureum nitrogen serum dan hematokrit mungkin dapat memprediksi derajat penyusutan cairan ekstraselular.2,3

Onset dehidrasi berhubungan dengan penurunan laju filtrasi glomerulus, yang menyebabkan penurunan regulasi kadar glukosa dan keton yang tinggi di dalam darah. Penelitian pada manusia menunjukkan bahwa pemberian cairan intravena saja akan menyebabkan penurunan kadar glukosa darah dalam jumlah yang relatif besar akibat peningkatan laju filtrasi glomerulus. Tujuan pemberian cairan dan natrium pada KAD, antara lain:6
• Mengembalikan volume sirkulasi efektif.
• Mengganti kehilangan natrium dan cairan intrasel maupun ekstrasel.
• Mengembalikan laju filtrasi glomerulus dengan meningkatkan clearance glukosa dan keton dari dalam darah.
• Menghindari edema serebri.

Pada penelitian terhadap hewan dan manusia, terlihat bahwa ada kemungkinan terjadi peningkatan tekanan intrakranial selama pemberian cairan intravena. Pada hewan coba yang dibuat ke dalam kondisi KAD, tampak bahwa pemberian cairan hipotonik, bila dibandingkan cairan hipertonik, berkaitan dengan peningkatan tekanan intrakranial. Pada pemberian cairan isotonik atau yang mendekati isotonik dapat segera mengatasi asidosis, bila diberikan sesuai standar. Namun, penggunaan cairan isotonis 0,9% dalam jumlah besar juga memiliki risiko lain, yaitu asidosis metabolik hiperkloremik.2

Belum terdapat data yang mendukung penggunaan koloid dibandingkan kristaloid dalam tatalaksana KAD. Juga belum terdapat data mengenai pemberian cairan yang lebih encer dari larutan NaCl 0,45%. Penggunaan cairan ini, yang mengandung sejumlah besar cairan dan elektrolit, dapat menyebabkan perubahan osmolaritas dengan cepat dan memicu perpindahan cairan ke dalam kompartemen intraselular.2

Insulin Meskipun rehidrasi saja sudah cukup bermanfaat dalam menurunkan konsentrasi glukosa darah, pemberian insulin juga tidak kalah penting dalam normalisasi kadar glukosa darah dan mencegah proses lipolisis dan ketogenesis. Meskipun diberikan dengan dosis dan cara yang berbeda (subkutan, intramuskular, intravena), telah banyak bukti yang menunjukkan pemberian insulin intravena dosis rendah merupakan standar terapi efektif. Penelitian fisiologis menunjukkan bahwa insulin pada dosis 0,1 unit/Kg/jam, yang akan mencapai kadar insulin plasma 100 – 200 unit/mL dalam 60 menit, cukup efektif. Kadar ini cukup potensial karena mampu mengimbangi kemungkinan resistensi insulin dan – yang paling penting – menghambat proses lipolisis dan ketogenesis, menekan produksi glukosa, dan menstimulasi peningkatan ambilan glukosa di perifer. Pemulihan asidemia bervariasi bergantung normalisasi kadar glukosa darah.2,3 Adapun pedoman pemberian insulin pada anak dengan KAD, antara lain:5
• Insulin tidak diberikan sampai hipokalemia terkoreksi.
• Insulin diberikan 0,1 U/Kg secra bolus intravena, dilanjutkan dengan pemberian 0,1 U/Kg/jam intravena secara konstan melalui jalur infus.
• Untuk memberikan drip insulin, penambahan setiap unit regular insulin setara dengan Kg berat badan pasien untuk setiap 100 mL salin. Pengaturan kecepatan infus adalah 10 mL/jam, sehingga didapatkan dosis 0,1 U/Kg/jam.
• Untuk menghindari keadaan hipoglikemia, dapat ditambahkan glukosa secara intravena apabila glukosa plasma menurun hingga 250 – 300 mg/dL.

Kalium
Pada orang dewasa dengan KAD, terjadi penurunan kalium hingga 3 – 6 mmol/Kg. Namun, pada anak, data yang ada masih sedikit. Sebagian besar kehilangan kalium dari intrasel adalah hipertonisitas, defisiensi insulin, dan buffering ion hidrogen di dalam sel. Kadar kalium serum pada awal kejadian dapat normal, meningkat, atau menurun. Hipokalemia yang terjadi berkaitan dengan perjalanan penyakit yang lama, sedangkan hiperkalemia terjadi akibat penurunan fungsi renal. Pemberian insulin dan koreksi asidosis akan memfasilitasi kalium masuk ke intrasel sehingga kadar dalam serum menurun.3,8

Adapun pedoman pemberian cairan dan kalium pada anak dengan KAD, antara lain:3,7
• Berikan larutan NaCl isotonik atau 0,45% dengan suplementasi kalium.
• Penambahan kalium berupa kalium klorida, kalium fosfat, atau kalium asetat.
• Apabila kadar kalium serum berada pada nilai rendah yang membahayakan, dipertimbangkan pemberian kalium oral (atau melalui NGT) dalam formulasi cair. Apabila koreksi hipokalemia lebih cepat daripada pemberian intravena, kecepatan pemberian harus dikurangi.
• Apabila kadar kalium serum < 3,5, tambahkan 40 mEq/L kedalam cairan intravena.
• Apabila kadar kalium serum 3,5 – 5,0, tambahkan 30 mEq/L
• Apabila kadar kalium serum 5,0 – 5,5, tambahkan 20 mEq/L
• Apabila kadar kalium serum lebih besar dari 5,5, maka tidak perlu dilakukan penambahan preparat kalium ke dalam cairan intravena.
• Apabila kadar kalium serum tidak diketahui, evaluasi gambaran EKG untuk menilai profil hiperkalemia pada EKG.

Fosfat
Penurunan kadar fosfat intrasel terjadi akibat diuresis osmotik. Pada dewasa, penurunan berkisar antara 0,5 – 2,5 mmol/Kg, sedangkan pada anak belum ada data yang lengkap. Penurunan kadar fosfat plasma setelah terapi dimulai akan semakin memburuk dengan pemberian insulin, karena sejumlah besar fosfat akan masuk ke kompartemen intraselular. Kadar fosfat plasma yang rendah berhubungan dengan gangguan metabolik dalam skala yang luas, yaitu penurunan kadar eritrosit 2,3-difosfogliserat dan pengaruhnya terhadap oksigenasi jaringan. Penurunan kadar fosfat plasma akan terjadi sampai beberapa hari setelah KAD mengalami resolusi. Namun, beberapa penelitian prospektif menunjukkan tidak adanya keuntungan klinis yang bermakna pada terapi penggantian fosfat. Meski demikian, dalam upaya menghindari keadaan hipokalemia berat, kalium fosfat dapat diberikan secara aman yang dikombinasikan dengan kalium klorida atau asetat untuk menghindari hiperkloremia.2

Asidosis
Asidosis yang berat dapat diatasi dengan pemberian cairan dan insulin. Pemberian insulin akan menghentikan sintesis asam keton dan memungkinkan asam keton dimetabolisme. Metabolisme keto-anion akan menghasilkan bikarbonat (HCO3-) dan akan mengoreksi asidemia secara spontan. Selain itu, penanganan hipovolemia akan memperbaiki perfusi jaringan dan fungsi renal yang menurun, sehingga akan meningkatkan ekskresi asam organik dan mencegah asidosis laktat.2

Pada KAD, terjadi peningkatan anion gap. Anion utama dalam hal ini adalah ?-hidroksibutirat dan asetoasetat.
Anion gap = [Na+] – [Cl-] + [HCO3-]
Nilai Normal: 12 ± 2 mmol/L

Indikasi pemberian bikarbonat pada KAD masih belum jelas. Beberapa penelitian menelaah pemberian natrium bikarbonat kepada sejumlah anak dan dewasa, namun tidak menunjukkan adanya manfaat yang bermakna.2

Sebaliknya, terdapat beberapa alasan untuk tidak menggunakan bikarbonat. Hal ini diperkuat oleh kenyataan bahwa terapi bikarbonat dapat menyebabkan asidosis SSP paradoksikal dan koreksi asidosis yang terlalu cepat dengan bikarbonat akan menghasilkan keadaan hipokalemia dan meningkatkan penimbunan natrium sehingga terjadi hipertonisitas serum. Selain itu, terapi alkali dapat meningkatkan produksi badan keton oleh hepar, sehingga memperlambat pemulihan keadaan ketosis.2,6

Namun, pada pasien tertentu dan pada keadaan tertentu, pemberian terapi alkali justru memberikan keuntungan, misalnya pada keadaan asidemia sangat berat (pH < 6,9) yang disertai dengan penurunan kontraktilitas jantung dan vasodilatasi perifer, maka pemberian terapi alkali ditujukan untuk menangani gangguan perfusi dan hiperkalemia yang mengancam jiwa.6

Edema Serebri
Terapi edema serebri harus dilakukan sesegera mungkin setelah gejala dan tanda muncul. Kecepatan pemberian cairan harus dibatasi dan diturunkan. Meskipun manitol menunjukkan efek yang menguntungkan pada banyak kasus, namun sering kali justru menimbulkan efek merusak bila pemberian tidak tepat. Pemberian manitol harus dilakukan sesuai keadaan dan setiap keterlambatan pemberian akan mengurangi efektivitas. Manitol intravena diberikan 0,25 – 1,0 g/Kg selama 20 menit pada pasien dengan tanda edema serebri sebelum terjadi kegagalan respirasi. Pemberian ulang dilakukan setelah 2 jam apabila tidak terdapat respons positif setelah pemberian awal. Saline hipertonik (3%), sebanyak 5 – 10 mL/Kg selama 30 menit dapat digunakan sebagai pengganti manitol. Intubasi dan ventilasi mungkin perlu dilakukan sesuai kondisi. Seringkali, hiperventilasi yang ekstrem terkait dengan edema serebri yang terkait dengan KAD.2,3,7

2.6 Pencegahan

Sebelum Diagnosis
Diagnosis awal mencakup skrining genetik dan imunologi terhadap anak dengan risiko tinggi KAD terkait onset diabetes mellitus. Kesadaran tinggi terhadap individu dengan riwayat keluarga dengan IDDM juga akan membantu menurunkan risiko KAD. Berbagai strategi, seperti publikasi kesehatan oleh dokter dan sekolah pada anak-anak akan menurunkan komplikasi KAD dari 78% hingga hampir 0%. Peningkatan kesadaran dan pemahaman masyarakat mengenai tanda dan gejala diabetes harus dilakukan agar diagnosis dini menjadi lebih mudah dan misdiagnosis dapat dicegah.2,3

Sesudah Diagnosis
Pada pasien dengan terapi insulin kontinu, episode KAD dapat diturunkan dengan edukasi algoritmik mengenai diabetes mellitus. Setiap gejala yang merujuk pada episode KAD harus segera ditangani. Pada kasus rekurensi KAD yang multiple, selain dengan pemberian insulin berkala, juga diberikan edukasi yang baik, evaluasi psikososial, dan status kesehatan fisik ke pusat pelayanan kesehatan.2


DAFTAR PUSTAKA
1. Syahputra, Muhammad. Diabetik Ketoacidosis. Bagian Biokimia Fakultas kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan: 2003.hal 1-14
2. Dunger DB, Sperling MA, Acerini CL, et al. European Society for Paediatric Endocrinology / Lawson Wilkins Pediatric Endocrine Society Consensus Statement on Diabetic Ketoacidosis in Children and Adolescents. Pediatrics 2004;113:133-40.
3. Young GM. Pediatrics Diabetic Ketoacidosis. eMedicine Specialties, 2008. (Diakses dari website www.eMedicine.com, pada tanggal 28 Juni 2009).
4. Felner EI, White PC. Improving management of diabetic ketoacidosis in children. Pediatrics 2001;108:735-40.
5. Lamb WH. Diabetic Ketoacidosis. eMedicine Specialties, 2008. (Diakses dari website www.eMedicine.com, pada tanggal 28 Juni 2009).
6. Sperling MA. Diabetes Mellitus in Children dalam Nelson Textbook of Pediatrics, edisi ke-16. editor: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. WB Saunders Company, 2000.hal 1770-1777
7. Wolfsdore J, Glaser N, Sperling MA. Diabetic ketoacidosis in infant, children, and adolescent: A consensus statement from American Diabetes Association. Diabetes Care 2006;29(5):1050-9.
8. Harris GD, Fiordalisi I. Physiologic management of diabetic ketoacidemia: A 5-year prospective pediatric experience in 231 episodes. Arch Pediatr Adolesc Med 1994;148:1046-52.

[Baca pendahuluannya di sini...]

Minggu, 18 Oktober 2009

Peranan Angiotensin Receptor Blocker (ARB) Pada Hipertensi

1. Pendahuluan

Hipertensi adalah suatu kondisi medis yang ditandai peningkatan tekanan darah secara kronis. Hipertensi merupakan salah satu penyebab kematian paling sering di dunia. Hampir satu miliar orang di dunia berisiko terkena kegagalan jantung, serangan jantung, stroke, gagal ginjal dan kebutaan akibat hipertensi. Hipertensi terjadi ketika volume darah meningkat dan/atau saluran darah menyempit, sehingga membuat jantung memompa lebih keras untuk menyuplai oksigen dan nutrisi kepada setiap sel di dalam tubuh. Tekanan darah diukur berdasarkan tekanannya terhadap dinding pembuluh darah (yang besarannya dinyatakan dalam mmHg). Jika tekanan darah melebihi tingkat yang normal, maka resiko kerusakan bisa terjadi pada organ organ vital di dalam tubuh seperti jantung, ginjal, otak, dan mata. Hal ini meningkatkan resiko kejadian yang bisa berakibat fatal seperti serangan jantung dan stroke.1

Hipertensi dapat disebabkan oleh berbagai faktor dan sering kali berbeda-beda pada tiap individu. Penanganan hipertensi sendiri lebih ditujukan untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien. Dengan pengobatan atau pengontrolan tekanan darah, maka berbagai komplikasi yang dapat dipicu oleh hipertensi dapat dicegah. Salah satu macam obat yang digunakan untuk mengatasi dan mengendalikan hipertensi adalah angiotensin receptro blocker (ARB).2

Angiotensin receptor blocker (ARB) merupakan salah satu obat antihipertensi yang bekerja dengan cara menurunkan tekanan darah melalui sistem renin-angiotensin-aldosteron. ARB mampu menghambat angiotensin II berikatan dengan reseptornya, sehingga secara langsung akan menyebabkan vasodilatasi, penurunan produksi vasopresin, dan mengurangi sekresi aldosteron. Ketiga efek ini secara bersama-sama akan menyebabkan penurunan tekanan darah.3-6

Mengingat pentingnya manfaat ARB terhadap hipertensi, maka pada makalah ini akan dipaparkan semua hal yang berkenaan dengan hipertensi dan ARB sebagai salah satu obat untuk menanggulanginya.

2.1 Hipertensi

2.1.1 Pengertian dan Klasifikasi

Definisi tekanan darah yang abnormal sebenarnya sulit, karena hubungan antara tekanan arteri sistemik dan derajat morbiditas lebih bersifat kualitatif dibanding kuantitatif. Level tekanan darah haruslah disetujui untuk evaluasi dan terapi pasien dengan hipertensi. Mengingat risiko berbagai penyakit dapat meningkat akibat hipertensi yang berlangsung terus-menerus, maka perlu adanya sistem klasifikasi yang esensial untuk dijadikan dasar diagnosis dan terapi hipertensi.7

Berdasarkan rekomendasi Seventh Report of the Joint National Commitee of Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC VII). Klasifikasi tekanan darah pada tabel dimaksudkan setiap tekanan yang terukur (tekanan rata-rata) pada dua kali atau lebih pengukuran, dalam posisi duduk.

Keadaan prehipertensi tidak dimasukkan ke dalam kategori penyakit, namun perlu diingat bahwa keadaan tersebut berisiko tinggi untuk berkembang ke tahap hipertensi. Dengan demikian, bila ditemukan pasien dengan prehipertensi, maka perlu segera dicari faktor risikonya dan sedapat-dapatnya faktor risiko tersebut dimodifikasi. Klasifikasi menurut JNC VII tidak menggolongkan deajat hipertensi berdasarkan faktor risiko atau kerusakan organ target, namun JNC VII lebih menekankan bahwa setiap pasien dengan hipertensi (baik derajat 1 maupun 2) perlu diterapi, disamping modifikasi gaya hidup.1

Pada hipertensi sistolik terisolasi, tekanan sistolik mencapai 140 mmHg atau lebih, tetapi tekanan diastolik kurang dari 90 mmHg dan tekanan diastolik masih dalam kisaran normal. Hipertensi ini sering ditemukan pada usia lanjut. Sejalan dengan bertambahnya usia, hampir setiap orang mengalami kenaikan tekanan darah. Tekanan sistolik terus meningkat sampai usia 80 tahun dan tekanan diastolik terus meningkat sampai usia 55-60 tahun, kemudian berkurang secara perlahan atau bahkan menurun drastis. Pada pasien dengan diabetes mellitus atau penyakit ginjal, penelitian telah menunjukkan bahwa tekanan darah di atas 130/80 mmHg harus dianggap sebagai faktor resiko dan sebaiknya diberikan perawatan.8-10

2.1.2 Etiopatogenesis, Faktor Risiko, dan Gejala klinis

Mekanisme Pengaturan Tekanan Darah

Tekanan darah arteri merupakan hasil dari cardiac output dan resistensi vaskular sistemik. Peningkatan tekanan darah di dalam arteri bisa terjadi melalui beberapa cara, antara lain:11-13

* Jantung memompa lebih kuat sehingga mengalirkan lebih banyak cairan pada setiap detiknya
* b. Arteri besar kehilangan kelenturannya dan menjadi kaku, sehingga mereka tidak dapat mengembang pada saat jantung memompa darah melalui arteri tersebut. Karena itu darah pada setiap denyut jantung dipaksa untuk melalui pembuluh yang sempit daripada biasanya dan menyebabkan naiknya tekanan. Inilah yang terjadi pada usia lanjut, dimana dinding arterinya telah menebal dan kaku karena arteriosklerosis. Dengan cara yang sama, tekanan darah juga meningkat pada saat terjadi "vasokonstriksi", yaitu jika arteri kecil (arteriola) untuk sementara waktu mengkerut karena perangsangan saraf atau hormon di dalam darah.
* Bertambahnya cairan dalam sirkulasi bisa menyebabkan meningkatnya tekanan darah. Hal ini terjadi jika terdapat kelainan fungsi ginjal sehingga tidak mampu membuang sejumlah garam dan air dari dalam tubuh. Volume darah dalam tubuh meningkat, sehingga tekanan darah juga meningkat.


Sebaliknya, jika aktivitas memompa jantung berkurang, arteri mengalami pelebaran, atau banyak cairan keluar dari sirkulasi, maka tekanan darah akan menurun atau menjadi lebih kecil.11

Penyesuaian terhadap faktor-faktor tersebut diperankan oleh perubahan fungsi ginjal dan sistem saraf otonom (bagian dari sistem saraf yang mengatur berbagai fungsi tubuh secara otomatis). Ginjal mengendalikan tekanan darah melalui beberapa cara, antara lain jika tekanan darah meningkat, maka ginjal akan menambah pengeluaran garam dan air, yang akan menyebabkan berkurangnya volume darah dan mengembalikan tekanan darah ke normal. Jika tekanan darah menurun, ginjal akan mengurangi pembuangan garam dan air, sehingga volume darah bertambah dan tekanan darah kembali ke normal. Ginjal juga dapat meningkatkan tekanan darah dengan menghasilkan enzim yang disebut renin, yang memicu pembentukan hormon angiotensin, yang selanjutnya akan memicu pelepasan hormon aldosteron. Ginjal merupakan organ penting dalam mengendalikan tekanan darah, karena itu berbagai penyakit dan kelainan pada ginjal bisa menyebabkan terjadinya tekanan darah tinggi. Penyempitan arteri yang menuju ke salah satu ginjal (stenosis arteri renalis) dapat menyebabkan hipertensi. Peradangan dan cedera pada salah satu atau kedua ginjal juga dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah.12,13

Sistem saraf simpatis merupakan bagian dari sistem saraf otonom, yang untuk sementara waktu akan meningkatkan tekanan darah selama respon fight-or-flight (reaksi fisik tubuh terhadap ancaman dari luar). Sistem ini juga meningkatkan kecepatan dan kekuatan denyut jantung, mempersempit sebagian besar arteriola, tetapi memperlebar arteriola di daerah tertentu (misalnya otot rangka, yang memerlukan pasokan darah yang lebih banyak), serta mengurangi pembuangan air dan garam oleh ginjal, sehingga akan meningkatkan volume darah dalam tubuh. Sistem saraf simpatis juga memicu pelepasan hormon epinefrin (adrenalin) dan norepinefrin (noradrenalin), yang merangsang jantung dan pembuluh darah, dan selanjutnya akan mencetuskan peningkatan tekanan darah.13,14

Etiologi Hipertensi

Hipertensi berdasarkan penyebabnya dibagi menjadi 2 jenis :1,11
a. Hipertensi primer atau esensial adalah hipertensi yang tidak / belum diketahui penyebabnya (terdapat pada kurang lebih 90 % dari seluruh hipertensi).
b. Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang disebabkan/ sebagai akibat dari adanya penyakit lain.

Hipertensi primer kemungkinan memiliki banyak penyebab. Beberapa perubahan pada jantung dan pembuluh darah kemungkinan bersama-sama menyebabkan meningkatnya tekanan darah.

Jika penyebab hipertensi diketahui, maka disebut hipertensi sekunder. Pada sekitar 5-10% penderita hipertensi, penyebabnya adalah penyakit ginjal. Pada sekitar 1-2%, penyebabnya adalah kelainan hormonal atau pemakaian obat tertentu (misalnya pil KB). Penyebab hipertensi lainnya yang jarang adalah feokromositoma, yaitu tumor pada kelenjar adrenal yang menghasilkan hormon epinefrin (adrenalin) atau norepinefrin (noradrenalin). Kegemukan (obesitas), gaya hidup yang tidak aktif (malas berolah raga), stres, alkohol atau garam dalam makanan; bisa memicu terjadinya hipertensi pada orang-orang memiliki kepekaan yang diturunkan. Stres cenderung menyebabkan kenaikan tekanan darah untuk sementara waktu, jika stres telah berlalu, maka tekanan darah biasanya akan kembali normal.15,16

Beberapa penyebab terjadinya hipertensi sekunder:15,16
Penyakit Ginjal
1. Stenosis arteri renalis
2. Pielonefritis
3. Glomerulonefritis
4. Tumor-tumor ginjal
5. Penyakit ginjal polikista (biasanya diturunkan)
6. Trauma pada ginjal (luka yang mengenai ginjal)
7. Terapi penyinaran yang mengenai ginjal

Kelainan Hormonal
1. Hiperaldosteronisme
2. Sindroma Cushing
3. Feokromositoma
4. Hiperplasia adrenal kongenital
5. Hipertiroid
6. Hiperparatiroid
7. Kontrasepsi

Obat-obatan
1. Kortikosteroid
2. Obat-obat adrenergik
3. Siklosporin
4. Eritropoietin
5. Kokain
6. Penyalahgunaan alkohol
7. Kayu manis (dalam jumlah sangat besar)

Penyebab Lainnya
1. Tumor otak
2. Koartasio aorta
3. Vaskulitis
4. Penyakit kolagen
5. Preeklamsi pada kehamilan
6. Porfiria intermiten akut
7. Keracunan timbal akut.

Faktor risiko dan Patogenesis Terjadinya Hipertensi

Patogenesis terjadinya hipertensi esensial (primer) meliputi banyak faktor yang beragam. Faktor-faktor tersebut antara lain, perfusi jaringan yang adekuat, mediator humoral, vaskular, volume darah sirkulasi, viskositas, cardiac output, elastisitas pembuluh, dan stimulasi saraf. Selain itu, juga terdapat faktor lain, seperti genetik (ras), diet, dan usia.17

Hipertensi dapat berkembang dengan disertai berbagai kerusakan organ target, misalnya aorta dan arteri, jantung, ginjal, retina, dan susunan saraf pusat. Progresivitas peningkatan tekanan darah dapat berlangsung hingga puluhan tahun. Hipertensi stadium awal dapat merupakan bentuk awal hipertensi, yang dihasilkan oleh penurunan resistensi perifer dan peningkatan stimulasi kardiak oleh hiperaktivitas adrenergik dan homeostasis kalsium. Bila hipertensi berlangsung kronis, maka resistensi vaskular akan meningkat. Reaktivitas vaskular merupakan faktor penting yang menentukan perubahan derajat hipertensi. Reaktivitas vaskular secara langsung dipengaruhi senyawa vasoaktif, reaktivitas otot polos, dan perubahan struktur dinding pembuluh darah.17

Hipertensi memiliki keterkaitan dengan faktor genetik yang beragam. Meskipun seseorang memiliki gen yang memberikan kecenderungan hipertensi, keterlibatan faktor lingkungan sangat besar. Sedikit sekali studi yang mengatakan bahwa hipertensi pada seseorang dapat muncul hanya dengan satu gen saja tanpa adanya intervensi faktor lingkungan. Beberapa kelainan genetik yang dapat menyebabkan hipertensi antara lain, aldosteronisme, defisiensi 17-α- dan 11β-hidroksilase, sindroma Liddle, serta kelainan gen yang berkenaan dengan sintesis angiotensinogen.17

Sistem renin-angiotensin-aldosteron berperan pada timbulnya hipertensi. Produksi renin dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain stimulasi saraf simpatis. Renin berperan pada proses konversi angiotensin I menjadi angiotensin II yang memiliki efek vasokonstriksi. Angiotensin II menyebabkan sekresi aldosteron yang selanjutnya akan meningkatkan retensi natrium dan air. Sistem ini juga meningkatkan vasopresin yang bersifat sebagai antidiuretik.16,17

Gejala Klinis

Pada sebagian besar penderita, hipertensi tidak menimbulkan gejala, meskipun secara tidak sengaja beberapa gejala terjadi bersamaan dan dipercaya berhubungan dengan tekanan darah tinggi (padahal sesungguhnya tidak). Gejala yang dimaksud adalah sakit kepala, perdarahan dari hidung, pusing, wajah kemerahan dan kelelahan; yang bisa saja terjadi baik pada penderita hipertensi, maupun pada seseorang dengan tekanan darah yang normal.1

Jika hipertensinya berat atau menahun dan tidak diobati, bisa timbul gejala berikut:1,2
1. sakit kepala
2. kelelahan
3. mual
4. muntah
5. sesak nafas
6. gelisah
7. pandangan menjadi kabur yang terjadi karena adanya kerusakan pada otak, mata, jantung dan ginjal.

Kadang penderita hipertensi berat mengalami penurunan kesadaran dan bahkan koma karena terjadi pembengkakan otak. Keadaan ini disebut ensefalopati hipertensif, yang memerlukan penanganan segera.

2.1.3 Diagnosis

Evaluasi penderita, hipertensi mencakup tiga komponen utama, yaitu mengidentifikasi penyebab, menilai ada tidaknya kerusakan organ target, dan mengidentifikasi adanya faktor risiko yang turut menentukan prognosis dan keberhasilan pengobatan. Data yang diperlukan untuk mengevaluasi pasien hipertensi dapat diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.18

Dari anamnesis dapat diperoleh informasi mengenai faktor risiko terjadinya hipertensi, riwayat hipertensi dalam keluarga, serta berbagai gejala yang sering menyertai pasien dengan hipertensi. Dari pemeriksaan fisik, pemeriksaan yang paling menentukan untuk menegakkan diagnosis adalah pengukuran tekanan darah. Pengukuran dilakukan dengan 3 kali pembacaan selang 2 menit menggunakan manometer raksa. Tekanan darah dapat dilakukan pada posisi berdiri atau duduk, menggunakan stetoskop Bell, dan pasien harus dalam keadaan rileks setidaknya 5 menit sebelum diperiksa. Pemeriksaan fisik lainnya disesuaikan dengan ada tidaknya kelainan penyerta, misalnya pada organ target.17,19

Pemeriksaan penunjang seperti laboratorium dan imaging masih kontroversial, melihat adanya fakta bahwa 90% kasus hipertensi merupakan hipertensi primer. Sehingga tidak disarankan melakukan semua pemeriksaan penujang, kecuali tedapat tanda yang mengarah kepada etiologi tertentu. Pemeriksaan laboratorium pada hipertensi (terutama hipertensi sekunder) misalnya hitung sel darah, serum elektrolit, serum kreatinin, glukosa darah, asam urat, dan urinalisis. Selain itu juga dapat dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui profil lipid, seperti LDL-C, HDL-C, Trigliserida. Teknik imaging yang dapat dilakukan, misalnya ekokardiografi untuk mengetahui ada tidaknya kelainan jantung dan pembuluh darah besar, arteriografi dan pielografi untuk mengetahui hipertensi renal.17,19

2.1.4 Penatalaksanaan

Pengelolaan pasien dengan hipertensi bertujuan mengurangi tingkat morbiditas dan mortalitas pasien. Meskipun etiologi hipertensi belum dapat dibuktikan, pengobatan hipertensi pada seorang penderita sudah dapat dimulai. JNC VII merekomendasikan tata laksana hipertensi berdasarkan deajat hipertensi, adanya kerusakan organ target, dan faktor risiko kardiovaskular lainnya (tabel 2 dan 3).18

Modifikasi gaya hidup bagi penderita hipertensi penting untuk dilakukan. Penurunan berat badan sekurang-kurangnya 4,5 kg, akan membantu menurunkan atau mencegah hipertensi pada orang-orang yang overweight, meskipun disarankan agar berat badannya dikembalikan ke berat badan ideal. Tekanan darah juga sangat dipengaruhi pola makan, misalnya dengan metode DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension) yang mengatur perencanaan makanan. Metode DASH menganjurkan untuk mengonsumsi lebih banyak buah-buahan, sayur-sayuran, dan makanan rendah lemak. Diet tinggi garam (natrium) harus diturunkan tidak lebih dari 100 mmol (2,4 gram) per hari. Setiap orang juga perlu melakukan aktivitas fisik aerobik, seperti jalan kaki, sekurang-kurangnya 30 menit per hari. Asupan alkohol harus dibatasi setidaknya 30 mL etanol atau setara dengan 2 kali minum tiap harinya. Modifikasi gaya hidup menurunkan tekanan darah, mencegah atau menghambat kejadian hipertensi, dan menurunkan risiko penyakit kardiovaskular.1

Selain cara pengobatan nonfarmakologis, penatalaksanaan utama lain adalah dengan menggunakan obat antihipertensi. Keputusan menggunakan terapi farmakologi seperti tertera pada tabel 3. Prinsip pengobatan hipertensi antara lain:1
1. Pengobatan hipertensi sekunder lebih mengutamakan pengobatan kausal
2. Pengobatan hipertensi primer ditujukan menurunkan tekanan darah dengan harapan memperpanjang usia dan mengurangi komplikasi
3. Pengobatan hipertensi primer adalah pengobatan jangka panjang dan kemungkinan besar seumur hidup
4. Upaya menurunkan tekanan darah digunakan obat antihipertensi dan modifikasi gaya hidup
5. Pengobatan menggunakan algoritma sesuai JNC VII (2003) Apabila tekanan darah telah turun dan dosis antihipertensi stabil dalam 6 hingga 12 bulan, dosis obat dapat di coba diturunkan dengan pengawasan ketat, tetapi tidak langsung dihentikan. Oleh karena faktor yang mempengaruhi terjadinya hipertensi sangat banyak, obat antihipertensi yang digunakan juga sangat bervariasi dalam hal titik tangkap kerjanya.1

2.2 Angiotensin-Receptor Blocker pada Hipertensi


2.2.1 Angiotensin-Receptor Blocker dan sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron

Sejak lebih kurang 100 tahun yang lalu, dengan ditemukannya renin, Tigerstedt dan Bergman mulai membahas hubungan hipertensi dengan ginjal. Percobaan Goldblatt (1934) menunjukkan bahwa hipertensi dapat diinduksi dengan melakukan unilateral clamp arteri renalis. Tahun 1940 ditemukan pressor agent yang sebenarnya berperan dalam rangkaian renin, yang kemudian diberi nama Angiotensin. Kemudian berhasil diidentifikasi dua bentuk angiotensin yang dikenal, yaitu Angiotensin I dan Angiotensin II.20

Enzim yang mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II disebut dengan Angiotensin Converting Enzyme (ACE). Rangkaian dari seluruh sistem renin sampai dengan angiotensin II inilah yang dikenal dengan Renin-Angiotensin-Aldosteron System (RAS). Para ahli mengatakan bahwa RAS berperan penting dalam patogenesis hipertensi baik sebagai salah satu penyebab timbulnya hipertensi maupun dalam perjalanan penyakitnya. Sejak tahun 1980 hingga 1990 penelitian tentang RAS berkembang sangat pesat, terutama setelah ditemukan sistim RAS general (Circulating RAS) dan sistim RAS lokal (Tissue RAS), adanya berbagai tipe Reseptor Angiotensin II di jaringan beserta segala efeknya, obat-obat penghambat ACE yang dikenal dengan ACE Inhibitor dan obat-obat yang memblokir efek Angiotensin II pada reseptor Angiotensin II yang disebut Angiotensin Receptor Blocker.20

Timbulnya iskemia general atau lokal akan mengaktivasi kedua sistem RAS, baik lokal maupun sistemik. RAS general akan berperan dalam regulasi sistem kardiovaskuler/hemodinamik dalam jangka waktu singkat dan cepat. Aktivasi RAS sistemik ini akan menyebabkan pemulihan tekanan darah dan homeostasis kardiovaskuler. Sedangkan aktivasi RAS lokal akan meregulasi dalam jangka waktu yang lebih panjang dan homeostasis kardiovaskuler lewat aktivasi angiotensin jaringan dan degradasi bradikinin.20,21

Hipertensi esensial merupakan penyakit multifaktor. Secara prinsip terjadi akibat peningkatan cardiac output/curah jantung atau akibat peningkatan resistensi vaskuler karena efek vasokonstriksi yang melebihi efek vasodilatasi. Peningkatan vasokonstriksi dapat disebabkan karena efek alpha adrenergik, aktivasi berlebihan dari sistim RAS atau karena peningkatan sensitivitas arteriole perifer terhadap mekanisme vasokonstriksi normal.20

Pengaturan tonus pembuluh darah (relaksasi & konstriksi) dilakukan melalui keseimbangan dua kelompok vasoaktif, yaitu vasoconstriction agent dan vasodilatation agent. Sistem RAS mempunyai hubungan yang erat dengan patogenesis timbulnya dan perjalanan hipertensi. Angiotensin II yang merupakan mediator utama dari RAS berikatan dengan resep-tornya di jaringan reseptor ini dikenal dengan reseptor AT. Ada beberapa tipe reseptor, tetapi yang terpenting adalah reseptor AT1 dan AT2 .20,21

Angiotensin Receptor Blocker (ARB) merupakan kelompok obat yang memodulasi sistem RAS dengan cara menginhibisi ikatan angiotensin II dengan reseptornya, yaitu pada reseptor AT1 secara spesifik. Semua kelompok ARB memiliki afinitas yang kuat ribuan bahkan puluhan ribu kali lebih kuat dibanding angiotensin II dalam berikatan dengan reseptor AT1. Akibat penghambatan ini, maka angiotensin II tidak dapat bekerja pada reseptor AT1, yang secara langsung memberikan efek vasodilatasi, penurunan vasopressin, dan penurunan aldosteron, selain itu, penghambatan tersebut juga berefek pada penurunan retensi air dan Na dan penurunan aktivitas seluler yang merugikan (misalnya hipertrofi). Sedangkan Angiotensin II yang terakumulasi akan bekerja di reseptor AT2 dengan efek berupa vasodilatasi, antiproliferasi. Sehingga pada akhirnya rangsangan reseptor AT2 akan bekerja sinergistik dengan efek hambatan pada reseptor AT1.20


2.2.2 Macam-macam Angiotensin-Receptor Blocker

Berbagai obat yang termasuk ke dalam golongan ARB telah banyak dipublikasikan dan dipasarkan. Beberapa obat ARB yang ada, antara lain:

Valsartan
Valsartan merupakan prototipe ARB dan keberadaannya cukup mewakili seluruh ARB. Valsartan bekerja pada reseptor AT1 secara selektif, sehingga diindikasikan untuk mengatasi hipertensi. Valsartan memiliki rumus kimia C24H29N5O3 dengan berat molekul 435,519 g/mol. Bioavailabilitas valsartan adalah sebesar 25% dengan 95% terikat protein. Waktu paruh valsartan adalah 6 jam, dan kemudian diekskresikan 30% melalui ginjal dan 70% melalui bilier.22,23

Valsartan terdapat dalam kemasan tablet 40 mg, 80 mg, 160 mg, dan 320 mg, menyesuaikan rentang dosis harian yang direkomendasikan, yaitu 40 – 320 mg per hari. Nama dagang valsartan, antara lain diovan dan valtan. Pada tahun 2005, diovan telah digunakan lebih dari 12 juta orang di Amerika Serikat saja. Studi yang dipublikasikan oleh Journal of Clinical Investigation menunjukkan adanya efek pencegahan dan pengobatan terhadap alzheimer, meskipun hal itu masih sebatas penelitian. Obat ini dapat menurun efektivitasnya hingga 40% bila diberikan bersama makanan.22-24

Telmisartan
Telmisartan merupakan salah satu ARB yang digunakan sebagai antihipertensi. Telmisartan dipasarkan dengan nama dagang Micardis (Boehringer Ingelheim), Pritor or Kinzal (Bayer Schering Pharma), Telma (Glenmark Pharma) dan Teleact D by (Ranbaxy). Telmisartan memiliki rumus kimia C33H30N4O2 dengan berat molekul 514,617 g/mol. Bioavailabilitas telmisartan adalah sebesar 42% hingga 100% dengan lebih dari 99,5% berikatan dengan protein. Waktu paruh telmisartan adalah 24 jam, dan kemudian diekskresikan hampir seluruhnya melalui feses.22,23

Secara farmakologis, kinerja telmisartan tidak jauh berbeda dengan kelompok ARB lainnya, yaitu dengan mengikat reseptor AT1. Afinitas telmisartan terhadap reseptor AT1 cukup tinggi dan merupakan yang tertinggi di kelompoknya. Reduksi tekanan darah terjadi akibat relaksasi otot polos pembuluh darah, sehingga terjadi vasodilatasi.22,23

Losartan
Losartan merupakan salah satu ARB yang diindikasikan untuk hipertensi. Selain itu, losartan juga dapat memperlambat progresivitas nefropati diabetik dan kelainan ginjal lain pada pasien diabetes melitus tipe II, hipertensi, dan mikroalbuminuria (>30 mg/hari) atau proteinuria (> 900 mg.hari). Losartan merupakan ARB pertama yang dipasarkan secara luas dengan nama dagang Cozaar (Merc & Co). Losartan memiliki rumus kimia C22H23ClN6O dengan berat molekul 422,91 g/mol. Bioavailabilitas losartan adalah sebesar 25% hingga 35%. Metabolisme losartan terjadi di hepar dengan bantuan enzim sitokrom p450 CYP2C9 dan CYP3A4. Waktu paruh telmisartan adalah 1,5 hingga 2 jam, tetapi memiliki metabolit aktif asam 5-karboksilat yang dapat bekerja dalam 6 hingga 8 jam. Metabolit aktif ini juga memiliki efektivitas blocking reseptor AT1 10 hingga 40 kali lebih kuat dibanding bahan induknya, losartan. Losartan kemudian diekskresikan 13% - 25% melalui ginjal dan 50% - 60% melalui bilier.1,25-27

Meskipun losartan jarang digunakan sebagai terapi first-line untuk hipertensi akibat harganya yang relatif lebih mahal dibanding diuretik atau beta bloker, losartan ternyata dapat dijadikan sebagai terapi first-line untuk hipertensi dengan risiko kardiovaskular event. Wiki osa2 Losartan juga terdapat dalam kombinasi dengan diuretik tiazid dosis rendah dan dipasarkan dengan nama dagang Hyzaar (Merck). Losartan akhir-akhir ini diteliti mengenai efektivitasnya dalam menekan reseptor TGF-β tipe I dan II pada ginjal diabetik, yang diasumsikan bertanggung jawab dalam efek proteksi ginjal pada pasien diabetes.27

Irbesartan
Irbesartan digunakan terutama untuk menangani hipertensi. Irbesarta dikembangkan pertama kali melalui riset Sanofi, dan kemudian dipasarkan oleh sanovi-aventis dan Bristol-Myers Squibb dengan nama dagang Aprovel, Karvea, dan Avapro. Irbesartan memiliki rumus kimia C25H28N6O dengan berat molekul 428,53 g/mol. Bioavailabilitas irbesartan adalah sebesar 60% hingga 80%. Waktu paruh irbesartan adalah 11-15 jam, dan kemudian diekskresikan 20% melalui ginjal dan sisanya melalui feses.28

Selain sebagai antihipertensi, irbesartan juga mampu menghambat progresivitas nefropati diabetik, mikroalbuminuria, atau proteinuria pada penderita diabetes melitus. Irbesartan juga terdapat dalam formula kombinasi dengan diuretik tiazid dosis rendah, yang ditujukan untuk meningkatkan efek antihipertensinya. Kombinasi ini tersedia dalam berbagai nama dagang, seperti CoAprovel, Karvezide, Avalide, dan Avapro HCT. 29

Olmesartan
Olmesartan (Benicar, Olmetec) merupakan salah satu ARB untuk hipertensi. Olmesartan bekerja dengan memblokade ikatan angiotensin II dengan reseptor AT1 sehingga akan merelaksasi otot polos vaskular. Dengan blokade tersebut, olmesartan akan menghambat feedback negatif terhadap sekresi renin. Olmisartan memiliki rumus kimia C29H30N6O6 dengan berat molekul 558,585 g/mol. Bioavailabilitas Olmisartan adalah sebesar 26% dengan metabolisme terjadi di hepar dan tidak hilang dengan hemodialisis. Waktu paruh Olmisartan adalah 13 jam, dan kemudian diekskresikan 40% melalui ginjal dan 60% melalui bilier.30

Olmesartan tersedia dalam bentuk tablet 5 mg, 20 mg, dan 40 mg. Dosis normal yang dianjurkan untuk dewasa (termasuk lanjut usia dan kerusakan hepar dan ginjal ringan) adalah 20 mg/hari dosis tunggal. Selanjutnya dosis dapat ditingkatkan menjadi 40 mg per hari setelah 2 minggu, bila tekanan darah tetap tidak mencapai target.30

Candesartan
Candesartan merupakan salah satu ARB yang digunakan sebagai antihipertensi. Prodrug candesartan dipasarkan dalam bentuk candesartan cileksil, dengan nama Blopress, Atacand, Amias, dan Ratacand. Candesartan memiliki rumus kimia C243H20N6O3 dengan berat molekul 440,45 g/mol. Bioavailabilitas candesartan adalah sebesar 15% hingga 40% dengan metabolisme terjadi di dinding intestinal untuk candesartan sileksil, dan dihepar untuk candesartan yang dikatalisasi enzim sitokrom p450 CYP2C9. Waktu paruh candesartan adalah 5,1 sampai 10,5 jam, dan kemudian diekskresikan 33% melalui renal dan 67% melalui feses.31

Selain sebagai obat antihipertensi, candesartan juga diindikasikan untuk pasien dengan gagal jantung kongestif. Indikasi ini merupakan hasil studi CHARM pada awal tahun 2000. Disamping itu, candesartan dapat dikombinasikan dengan ACE inhibitor untuk memperbaiki morbiditas dan mortalitas penderita gagal jantung. Kombinasi dengan diuretik tiazid dapat menambah efek antihipertensi.31

Eprosartan
Eprosartan merupakan salah satu ARB yang digunakan sebagai antihipertensi. Eprosartan dipasarkan dengan nama Teveten HCT dan Teveten plus. Kerja obat ini pada sistem RAS akan menurunkan resistensi perifer. Obat ini juga menghambat produksi norepinefrin simpatetik sehingga juga menurunkan tekanan darah. Eprosartan memiliki rumus kimia C23H24N2O4S dengan berat molekul 520,625 g/mol. Bioavailabilitas eprosartan adalah sebesar 15% tanpa dimetabolisme. Waktu paruh eprosartan adalah 5 hingga 9 jam, dan kemudian diekskresikan 10% melalui ginjal dan 90% melalui bilier.32,33

2.2.3 Penggunaan Angiotensin-Receptor Blocker

Golongan sartan atau ARB digunakan untuk menangani pasien dengan hipertensi, terutama terhadap pasien yang intoleransi dengan terapi ACE inhibitor. Keunggulan ARB dibanding ACE inhibitor adalah ARB tidak menghambat penguraian bradikinin dan kinin lain, sehingga tidak menimbulkan batuk atau angioedem yang dipicu bradikinin. Akhir-akhir ini, mulai dikembangkan penggunaan ARB pada gagal jantung bila terapi menggunakan ACE inhibitor menemui kegagalan, terutama dengan Candesartan. Irbesartan dan losartan juga menunjukkan keuntungan pada pasien hipertensi dengan diabetes tipe II, dan terbukti menghambat secara bermakna progresivitas nefropati diabetik. Candesartan juga telah diuji coba secara klinis dalam mencegah dan mengatasi migrain.1

Spesifikasi penggunaan ARB berdasarkan efektivitasnya dalam menghambat ikatan angiotensin II dan reseptornya dapat dijadikan sebagai ukuran untuk mempertimbangkan golongan mana yang dapat dipilih. Terdapat 3 parameter penggunaan ARB, yaitu menurut efek inhibisi dalam 24 jam, tingkat afinitasnya terhadap reseptor AT1 dibanding AT2, dan waktu paruh obat.1

a. Efek inhibisi selama 24 jam merupakan ukuran penting terkait dengan jumlah atau besar angiotensin II yang dihambat selama 24 jam. Berdasarkan FDA USA, beberapa ARB dan efek penghambatan terhadap angiotensin, yaitu:
• Valsartan 80 mg 30%
• Telmisartan 80 mg 40%
• Losartan 100 mg 25-40%
• Irbesartan 150 mg 40%
• Irbesartan 300 mg 60%
• Olmesartan 20 mg 61 %
• Olmesartan 40 mg 74%

b. Afinitas ARB terhadap reseptor AT1 dibanding AT2 merupakan pertimbangan penting, karena kedua reseptor ini memiliki kerja yang saling berlawanan. Semakin kuat afinitas ARB terhadap AT1 dibanding AT2, maka efek antihipertensi juga akan semakin meningkat. Berdasarkan FDA US, beberapa ARB dan afinitasnya terhadap reseptor AT1 dibanding AT2, yaitu:
• Losartan 1000 kali
• Telmisartan 3000 kali
• Irbesartan 8500 kali
• Olmesartan 12500 kali
• Valsartan 20000 kali

c. Waktu paruh ARB juga penting dipertimbangkan sebagai dasar terapi. Waktu paruh merupakan indikator seberapa lama obat memiliki efek yang signifikan di dalam tubuh. Beberapa ARB dan waktu paruhnya, yaitu:
• Valsartan 6 jam
• Losartan 6-9 jam
• Irbesartan 11-15 jam
• Olmesartan 13 jam
• Telmisartan 24 jam

Sebagai obat antihipertensi terbaru, Angiotensin receptor blocker (ARB) atau penyekat reseptor angiotensin perlu dianalisis. ARB merupakan antihipertensi yang banyak digunakan di Asia, terutama Jepang. Losartan Intervention For Endpoint reduction in hypertension (LIFE) membuktikan bahwa ARB terbukti lebih superior dibandingkan atenolol dalam mengurangi morbiditas kardiovaskular atau stroke (tetapi tidak untuk infark miokard). Manfaat ini didapat di luar efek penurunan tekanan darah. Hasil studi LIFE menujukkan bahwa ARB menjadi pilihan lebih baik dibandingkan beta bloker bagi pasien hipertensi sitolik yang terisolasi berusia > 70 tahun.25-27

Studi lain, yakni VALUE, membuktikan tidak ada perbedaan signifikan pada morbiditas dan mortalitas kardiovakular pada pasien risiko tinggi, baik pada penerima valsartan maupun amlodipine, meskipun ada perbedaan penurunan tekanan darah. Amlodipine lebih besar menurunkan tekanan darah dengan perbedaan 3,2/1,6 mmHg. Hanya penurunan fatal dan non-fatal infark miokard yang berkaitan langsung dengan penurunan tekanan darah. Studi SCOPE, yakni studi pada pasien hipertensi usia lanjut (> 70 tahun), menunjukkan bahwa penurunan tekanan darah lebih baik dengan pemberian ARB candesartan dibandingkan plasebo (perbedaan 3,2/1,6 mmHg). Namun perbedaan ini secara statistik dianggap tidak bermakna. Demikian pula dalam hal kematian kardiovaskular dan MI non-fatal.31

Hasil-hasil studi ELITE II (losartan vs captopril), OPTIMAAL (losartan vs captopril), VALIANT (valsartan vs captopril), dan VaL-HeFT (valsartan vs ACE-inhibitor atau placebo) menunjukkan bahwa ARB sama efektif dengan ACE-inhibitor. Namun kombinasi keduanya lebih superior dibandingkan ACE-inhibitor saja dalam memperbaiki hasil akhir kejadian kardiovaskular. Meski dalam penurunan mortalitas dan kejadian kardiovaskular ARB setara dengan ACE-inhibitor, namun ada kecenderungan ARB lebih superior untuk gagal jantung dan proteksi terhadap ginjal. Efek ARB dalam proteksi ginjal sudah banyak diketahui terutama pada pasien diabetes. Dalam hal mencegah progresivitas mikroalbuminuria dan meningkatkan hasil akhir terhadap ginjal, beberapa studi komparatif menunjukkan, ARB superior dibandingkan plasebo atau CCB, dan juga ACE-inhibitor. Efek ini bersifat independen dari efek penurunan tekanan darah.34

Untuk kasus gagal jantung, ARB adalah antihipertensi terbaru yang paling efektif. Hal ini dibuktikan oleh candesartan dan valsartan melalui dua studi besar, yakni ValHeFT dan CHARM. Hasil kedua studi mennjukkan, angka perawatan rumah sakit akibat gagal jantung berkurang, adanya kenaikan kriteria NYHA dan perbaikan kualitas hidup. Studi lanjutan CHARM, yakni CHARM Alternative dan CHARM-Added menunjukkan candesartan mampu mengurangi kematian karena berbagai sebab. Untuk pasien yang intoleran dengan ACE-inhibitor, candesartan bisa menurunkan risiko kematian akibat kardiovakular atau perawatan rumah sakit akibat gagal jantung, menurunkan risiko gagal jantung yang membutuhkan perawatan rumah sakit dan kenaikan kelas NYHA. Penemuan berkaitan dengan gagal jantung ini memperkuat studi lain, yakni VALIANT, di mana valasartan sama efektif dengan ACE-inhibitor (captopril) dalam mengurangi kematian dan morbiditas kardiovakular.31,34,35

Panduan dari American College of Cardiolody dan American Heart Association (ACC/AHA) tentang diagnosis dan manajemen gagal jantung kronis pasien dewasa merekomendasikan ARB sebagai alternatif ACE-inhibitor. Dalam guideline dinyatakan, ARB reasonable untuk digunakan sebagai alternatif ACE-inhibitor sebagai terapi lini pertama pasien dengan gagal jantung ringan sedang dan mengurangi LVEF, khususnya pada pasien yang sudah menggunakan ARB untuk indikasi. Terapi kombinasi valsartan dengan hidroklorotiazid (HCT) menunjukkan penurunan tekanan darah baik sistolik maupun diastolik lebih baik dengan kombinasi valsartan + HCT daripada valsartan saja. Studi Mailion menunjukkan, kombinasi valsartan 160 mg + HCT 25 mg mampu menurunkan rata-rata tekanan sistolik sebanyak 21,7 mmHg dan diastolik 14,2 mmHg dibandingkan dengan valsartan 160 mg saja.1,34,36,37

Kombinasi lain adalah ARB + CCB. Dasar pemikiran kombinasi CCB + ARB adalah untuk mendapatkan efek sinergis dari mekanisme kerja yang berlawanan. Kekurangan CCB seperti merangsang SRAA dan tidak bermanfaat pada kasus gagal jantung dapat ditutupi dengan kelebihan ARB, yaitu menghambat SRAA dan bermanfaat pada gagal jantung. ARB kurang bermanfaat pada penderita iskemia jantung, sebaliknya CCB justru mengurangi risiko iskemia jantung. CCB menyebabkan arteriodilatasi tanpa disertai venodilatasi sehingga memicu kebocoran plasma lalu edema perifer. Dengan adanya ARB yang menyebabkan venodilatasi maka tekanan vena dan arteri akan sama sehingga edema perifer tidak terjadi.36

Pada penderita hipertensi ringan-sedang yang ditandai dengan tekanan diastolik 95-110 mmHg, kombinasi valsartan 160 mg + amlodipine 10 mg menurunkan tekanan darah sistolik lebih besar daripada amlodipine 10 mg saja (p<0,001) dan valsartan 160 mg saja (p<0,001). Kombinasi tersebut juga menunjukkan superioritas terhadap lisinopril 10-20 mg + HCT 12,5 mg. Penderita hipertensi stage 2 dengan rata-rata tekanan darah sebelum intervensi 171/113 mmHg mengalami penurunan menjadi 135/83,6 mmHg pada kelompok valsartan 160 mg + amlodipine 5-10 mg dibandingkan 138,7/85,2 mmHg pada kelompok lisinopril 10-20 mg + HCT 12,5 mg. Hasil serupa juga ditemukan pada penderita hipertensi stage 2 dengan rata-rata tekanan darah 188/113 mmHg dimana rata-rata tekanan darah pada akhir penelitian sebesar 145,4/86,4 mmHg pada valsartan + amlodipine daripada 157,4/92,5 mmHg pada lisinopril + HCT.36 Selain menurunkan tekanan darah, kombinasi ARB dan CCB juga berhasil mengurangi efek samping. Edema perifer pada pemberian valsartan + amlodipine lebih rendah 38% daripada amlodipine saja. Selain itu, angka insiden rekurensi atrial fibrilasi selama observasi 1 tahun hanya ditemukan 13% pada pasien yang mengkonsumsi valsartan 160 mg + amlodipine 10 mg dibandingkan 33% pada pasien dengan atenolol 100 mg + amlodipine 10 mg (p<0,01).36

2.2.4 Efek Samping

Secara umum dan melalui berbagai penelitian, ARB relatif aman dan jarang sekali menimbulkan komplikasi fatal. Beberapa keluhan yang pernah dilaporkan, antara lain pusing, sakit kepala, dan hiperkalemia. ARB juga dapat menimbulkan hipotensi ortostatik, rash, diare, dispepsia, abnormalitas fungsi liver, kram otot, mialgia, nyeri punggung, insomnia, penurunan level hemoglobin, dan kongesti nasal.38,39

Meskipun salah satu alasan penggunaan ARB adalah untuk menghindari efek batuk atau angioedem yang sering terjadi pada penggunaan ACEI, namun efek ini juga dapat muncul pada ARB, meskipun sangat jarang. Selain itu, terdapat risko kecil terjadinya reaksi silang pada pasien yang memiliki riwayat angioedem dengan penggunaan ACEI, namun mekanisme reaksi ini masih belum jelas. 38,39

DAFTAR PUSTAKA

1. Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, Cushman WC, Green LA, Izzo JL Jr, et al. The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure: the JNC 7 report. JAMA. May 21 2003;289(19):2560-72
2. Alderman MH. JNC 7: brief summary and critique. Clin Exp Hypertens. Oct-Nov 2004;26(7-8):753-61
3. Tronvik E, Stovner LJ, Helde G, Sand T, Bovim G. Prophylactic treatment of migraine with an angiotensin II receptor blocker: a randomized controlled trial. JAMA 2003;1(289 Pt 1): 65-9
4. Verma S, Strauss M .Angiotensin receptor blockers and myocardial infarction. BMJ 2004;329(7477):1248–9
5. Strauss MH, Hall AS. Angiotensin receptor blockers may increase risk of myocardial infarction: unraveling the ARB-MI paradox. Circulation 2006:114(8):838–54
6. Tsuyuki RT, McDonald MA. Angiotensin receptor blockers do not increase risk of myocardial infarction". Circulation 2006;114(8):855–60
7. Cornoni-Huntley J, LaCroix AZ, Havlik RJ. Race and sex differentials in the impact of hypertension in the United States. The National Health and Nutrition Examination Survey I Epidemiologic Follow-up Study. Arch Intern Med. 1989;149(4):780-8
8. Kassler-Taub K, Littlejohn T, Elliott W, Ruddy T, Adler E. Comparative efficacy of two angiotensin II receptor antagonists, irbesartan and losartan in mild-to-moderate hypertension. Irbesartan/Losartan Study Investigators. Am J Hypertens 1998;11(4 Pt 1): 445-53
9. Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, Cushman WC, Green LA, Izzo JL Jr, et al. Seventh report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. Hypertension. 2003;42(6):1206-52.
10. Schmieder RE, Martus P, Klingbeil A. Reversal of left ventricular hypertrophy in essential hypertension. A meta-analysis of randomized double-blind studies. JAMA. 275(19):1507-13
11. Brown MJ. Hypertension and ethnic group. BMJ. Apr 8 2006;332(7545):833-6
12. Kaplan NM, Gifford RW Jr. Choice of initial therapy for hypertension. JAMA. 1996;275(20):1577-80
13. Khan NA, McAlister FA, Lewanczuk RZ, Touyz RM, Padwal R, Rabkin SW, et al. The 2005 Canadian Hypertension Education Program recommendations for the management of hypertension: part II - therapy. Can J Cardiol. 2005;21(8):657-72
14. Qureshi AI, Suri MF, Kirmani JF, Divani AA. Prevalence and trends of prehypertension and hypertension in United States: National Health and Nutrition Examination Surveys 1976 to 2000. Med Sci Monit. Sep 2005;11(9):CR403-9
15. Svetkey LP, Moore TJ, Simons-Morton DG, Appel LJ, Bray GA, Sacks FM, et al. Angiotensinogen genotype and blood pressure response in the Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH) study. J Hypertens. 2001;19(11):1949-56
16. Duprez DA. Role of the renin-angiotensin-aldosterone system in vascular remodeling and inflammation: a clinical review. J Hypertens 2006;24(6):983-91
17. MRFIT. Mortality after 10 1/2 years for hypertensive participants in the Multiple Risk Factor Intervention Trial. Circulation. 82(5):1616-28
18. Susalit E, Kapojos EJ, Lubis HR. Hipertensi Primer. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi III. Editor Slamet S, Waspadji S, Lesmana L, dkk. Balai Penerbit FK UI: Jakarta, 2001
19. Narkiewicz K. Diagnosis and management of hypertension in obesity. Obes Rev. May 2006;7(2):155-62
20. Ismahun P. Peranan angiotensin II receptor antagonist pada penyakit jantung hipertensi. Cermin Dunia Kedokteran 2001;132:21-3
21. Goodfriend TL, Elliot ME, Gatt KJ. Angiotensin receptors and their antagonist. N Eng J Med 1996;334(25):1649-54
22. Verma S, Strauss M. Angiotensin receptor blockers and myocardial infarction. Br Med J 2004 27;329(7477):1248-9
23. Strauss MH, Hall AS. Angiotensin receptor blockers may increase the risk of myocardial infarction: unravelling the ARB-MI paradox. Circulation 2006;114(8):838-54
24. Tsuyuki RT, McDonald MA. Angiotensin receptor blockers do not increase the risk of myocardial infarction. Circulation 2006;114(8):855-60
25. Dahlof B, Devereux RB, Kjeldsen SE, et al. Cardiovascular morbidity and mortality in the Losartan Intervention For Endpoint reduction in hypertension study (LIFE): a randomised trial against atenolol. Lancet 2002;359(9311):995-1003
26. Guo ZX, Qiu MC. [Losartan downregulates the expression of transforming growth factor beta type I and type II receptors in kidney of diabetic rat] Zhonghua Nei Ke Za Zhi 2003;42(6):403-8
27. Habashi JP, Judge DP, Holm TM, Cohn RD, Loeys BL, Cooper TK, et al. Losartan, an AT1 antagonist, prevents aortic aneurysm in a mouse model of Marfan syndrome, and preserves muscle tissue architecture in DMD mouse models. Science 2006;312(5770):117-21
28. Lewis EJ, Hunsicker LG, Clarke WR, et al. Renoprotective effect of the angiotensin-receptor antagonist irbesartan in patients with nephropathy due to type 2 diabetes. N Engl J Med 2001;345(12): 851-60
29. Rossi S, editor. Australian Medicines Handbook 2006. Adelaide: Australian Medicines Handbook; 2006
30. Strauss MH, Hall AS. Angiotensin receptor blockers may increase risk of myocardial infarction: unraveling the ARB-MI paradox. Circulation 2006;8(114): 855
31. Pfeffer M, Swedberg K, Granger C, Held P, McMurray J, Michelson E, Olofsson B, Ostergren J, Yusuf S, Pocock S. Effects of candesartan on mortality and morbidity in patients with chronic heart failure: the CHARM-Overall programme. Lancet 2003;62(9386):759–66
32. Hollenberg NK. Potential of the angiotensin II receptor 1 blocker eprosartan in the management of patient with hypertension or heart failure. Cur Hyper Rep 2001;3(1):25-8
33. Ruilope L, Jäger B, Prichard B. Eprosartan versus enalapril in elderly patients with hypertension: a double-blind, randomized trial. Blood Press 2001;10(4): 223-9
34. Van de Wal RMA, van Veldhuisen DJ, van Gilst WH, Voors AA. Addition of an angiotensin receptor blocker to full dose ACE-inhibition: Controversial or common sense?. Eur Heart J 2005;454:1-7
35. Hudson M, Humphries K, Tu JV, et al. Angiotensin II receptor blockers for treatment of heart failure: A class effect?. Pharmacotherapy 2007;24(7):526-34
36. Yeo WW. The role of angiotensin receptor blockers in hypertension. Br J Cardiol 2003;10(suppl3):8-15
37. Terra SG. Angiotensin receptor blockers. Circulation 2003;107:215-6
38. Levy BI. How to explain the differences between renin angiotensin system modulators". Am. J. Hypertens. 2005;18(9 Pt 2):134S–141S.
39. Lévy BI. Can angiotensin II type 2 receptors have deleterious effects in cardiovascular disease Implications for therapeutic blockade of the renin-angiotensin system". Circulation 2004;109(1):8–1
[Baca pendahuluannya di sini...]